Mohon tunggu...
Khusnul Zaini
Khusnul Zaini Mohon Tunggu... Pengacara - Libero Zona Mista

Menulis Semata Mencerahkan dan Melawan ....!!!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Skenario Kebijakan Perhutanan Sosial: Secara Politik Siapa yang Diuntungkan?

12 Agustus 2020   17:47 Diperbarui: 12 Agustus 2020   18:09 1349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Akan tetapi, menjadi musibah, ternyata justru menimbulkan masalah baru. Misalnya konflik antar anggota kelompok, ada anggota masyarakat yang dirugikan, dan menjadi "hutang politis dalam konteks hukum" karena inkonsisten dalam pengelolaanya.

Idealnya dalam pengelolaan PS ini, para pihak penerima SK izin bisa melakukannya dengan kedaulatan politik, kemartabatan budaya, dan kemandirian ekonomi masyarakat desa/adat. Sejatinya potensi itu ada di kelompok masyarakat desa/adat yang bernama budaya gotong royong.

Sehingga, pada akhir keberhasilan atas produk komoditi yang dipanen, lembaga/kelompok pengelola skema perhutanan sosial bisa melakukan negosiasi dengan gagah dan sejajar dengan pihak manapun, dan mampu menjadi pelaku bisnis secara profesional dan proporsional.  

Jika hal di atas tidak mampu dilakukan, maka skenario kebijakan perhutanan sosial bisa dijadikan "legitimasi framing" bagi kelompok masyarakat setempat/adat, yang dengan mudahnya pemerintah/KLHK memberi label mangkir dari tanggung jawab dan kewajibannya sesuai mandate berdasarkan klausul SK izin yang telah diberikan.

Pelabelan masyarakat penerima SK izin ini bisa dijadikan indikator politis tertentu, hingga dijadikan pertimbangan dalam menentukan pola dan strategi kebijakan jangka panjang KemenLHK mensubstitusikan penguasaan dan pengelolaan kawasan hutan di Indonesia.

Untuk antisipasi dan menyelamatkan label negatif di atas, idealnya harus sudah ada skenario pendanaan yang dirancang sebelumnya. Skenario pendanaan bisa di akses dari BLU kementerian, Bank konvensional, hingga lembaga keuangan/investasi internasional dengan pihak penjamin NGO pendamping pemegang izin PS, atau NGO (nasional dan internasional) yang punya dan peduli dengan program Perhutanan Sosial.

Jika ditelisik lebih dalam, harus jujur dikatakan bahwa banyak areal perhutanan sosial belum dikelola dengan maksimal dan konsisten. Ada banyak kasus di tingkat tapak, setelah menerima SK izin dengan skema tertentu, ternyata tidak ditindak lanjuti dengan pengelolaan sesuai ketentuan syarat yang dibuat saat proses pengajuan izin.

Sebagian besar dikarenakan tidak mempunyai biaya/modal yang cukup. Pertanyaannya kemudian, sebenarnya siapa yang diuntungkan dengan terlaksananya skema perhutanan sosial ini? Apakah para aktivis NGO berikut lembaganya yang memposisikan sebagai lembaga pendamping masyarakat pengaju skema perhutanan sosial?

Apakah para individu aktivis NGO dengan skill yang dimilikinya kemudian direkrut sebagai tenaga fasilitator kemenLHK untuk percepatan pencapaian target perhutanan sosial yang prestisius itu?

Apakah para individu akademisi dengan posisinya sebagai konsultan yang diminta jasa intelektualnya oleh pihak perusahaan untuk analisis dan jastifikasinya pada areal konsesi yang diperuntukkan pemanfaatannya dalam skema kemitraan?

Ataukah para pejabat KLHK maupun Dinas Kehutanan Propinsi karena targetnya terpenuhi dengan menerbitkan sejumlah Surat Keputusan (SK) izin dan luasan areal hutan yang telah diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun