Mohon tunggu...
Khusnul Zaini
Khusnul Zaini Mohon Tunggu... Pengacara - Libero Zona Mista

Menulis Semata Mencerahkan dan Melawan ....!!!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tafsir Hukum: Praktik UU.No.2/2020 Tidak Boleh Mereduksi Hak Politis Desa

8 Juni 2020   00:49 Diperbarui: 8 Juni 2020   05:59 645
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Potret kesejahteraan ekonomi dan dinamika sosial masyarakat desa menjadi cermin politis eksistensi sebuah negara-bangsa. Desa sebagai pensuplai kebutuhan dasar masyarakat kota, sehingga mewajibkan pemerintah melakukan investasi ekonomi secara proporsional tanpa garanti politis dalam bentuk apapun.

Secara politik, realisasi Nawa Cita pemerintahan Jokowi jilid pertama telah memberi porsi lebih untuk pembangunan kawasan pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan pedesaan. Paparan potret ini hasil jajak pendapat lembaga survei Indo Barometer yang diungkapkan Direktur Eksekutif Indo Barometer M. Qodari dengan tingkat kepuasaan publik mencapai 60,2%.

Gerakan Ekonomi Desa Melalui BUMDes

Upaya Kemendes PDTT mendorong pendirian Bumdes di setiap desa patut diapresiasi. BUMDes merupakan lembaga ekonomi yang dimiliki dan menjadi hak sepenuhnya bagi seluruh masyarakat desa. Pada awal tahun 2020 sudah berdiri lebih dari 46 ribu Bumdes atau lebih 61% dari total jumlah desa sudah memiliki Bumdes. Namun pada level unit usaha, masih banyak kendala yang dihadapi.

BUMDes dikelola dengan semangat kekeluargaan dan gotong-royong, bergerak dibidang ekonomi, pedagangan, pelayanan jasa maupun pelayanan umum lainnya, dengan mendayagunakan segala potensi ekonomi, sumber daya alam dan sumber daya manusia untuk kesejahteraan masyarakat desa.

Meski orientasi bisnisnya bersifat paradok, sebagaimana arahan/anjuran pemerintah agar BUMDes tidak mencari keuntungan uang semata, tetapi juga bisa mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat desa. Apabila skenario ini tidak dijalankan dan dikontrol dengan baik, akan terbuka peluang untuk memanipulasi hingga mengkorupsi modal usaha yang ditanamkan dalam BUMDes.

Bahkan, sesuai instruksi Presiden Jokowi dalam rapat terbatas mengenai pengelolaan dana desa, perlu ada program Revitalisasi BUMDes. Masalah ini perlu mendapat perhatian serius, dan bukan hanya menyangkut Kementerian Desa PDTT.

Kementerian BUMN, Bank Indonesia, OJK, Kemenkum HAM, perlu dilibatkan untuk mendorong kebijakan yang memihak dan memberikan ruang bagi BUMDes. Penguatan kelembagaan dan kebijakan untuk Revitalisasi Bumdes harus dilakukan di level Nasional, Provinsi, Kabupaten dan Lokal Desa itu sendiri.

Implikasi kebijakan pemerintah pusat yang tafsir politiknya bisa dimaknai “setengah memaksa” bagi desa membentuk BUMDes itu, sejatinya telah dijalankan dengan berbagai resiko dampak bagi individu/pribadi maupun kelompok (baca: kepala desa, perangkat desa, masyarakat desa) dalam tempo yang belum lama waktu pembentukannya.

Pertanyaannya kemudian, apakah prestasi Nawa Cita tersebut harus dianulir secara politik dengan pemberlakuan UU.No.2/2020 (Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang) yang berdampak sistemik terhadap mandat UU.No.6/2014 tentang Desa ?

fenomena politik itu mungkin saja telah dan atau akan terjadi sebentar lagi, jika penerapan praktik UU.No.2/2020 menggunakan tafsir subyektif absolut sesuai kehendak dan kemauan pihak pemerintah.

Tafsir Politik-Hukum Praktik UU.No.2/2020 Terhadap UU.No.6/2014

Ketentuan pasal paling krusial sekaligus ruhnya UU.No.6/2014 (Desa) adalah soal sumber keuangan desa. Berdasarkan penjelasan Pasal 72 Ayat (2) UU.No.6/2014, jumlah alokasi anggaran yang langsung ke desa, ditetapkan sebesar 10 persen dari dan di luar dana transfer daerah.

Desa diperkirakan mendapatkan dana sekitar 1.4 miliar berdasarkan perhitungan menurut APBN untuk perangkat desa sebesar Rp. 59, 2 triliun, ditambah dengan dana dari APBD sebesar 10 persen sekitar Rp. 45,4 triliun. Total dana untuk desa adalah Rp. 104, 6 triliun yang akan dibagi ke 72 ribu desa se Indonesia.

Implikasinya dengan tafsir hukum sebagaimana ketentuan pasal 28 angka 8 UU.No.2/2020, dalam praktik pemberlakuannya harus ditafsirkan dengan pemaknaan secara komprehensif. Mengapa demikian? jika tidak jeli dalam penafsirannya, ada anggapan politis terhadap pemerintahan desa tidak menerima alokasi anggaran dana dari pemerintah dalam jangka waktu yang tidak bisa dipastikan.

Argumen dan jastifikasi hukum di atas didasarkan dengan realisasi praktik yang tidak ada batas waktu pemberlakuan terhadap UU.No.2/2020, sehingga pemerintah (pusat dan daerah) akan mengabaikan ketentuan pasal penerapan ketentuan Pasal 72 Ayat (2) UU.No.6/2014

Apabila tidak, konsekwensi politisnya justru berpotensi munculnya keresahan politik ditingkat pemerintahan desa dan masyarakat luas. Bangunan ekonomi desa yang baru dirintis sekitar 5 (lima) tahun lalu akan berantakan seketika, karena penerapan kebijakan politik pemerintah pusat secara mendadak.

Ketentuan pasal 28 angka 8 UU.No.2/2020 menyebutkan bahwa “Pada saat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku: Pasal 72 ayat (2) beserta penjelasannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 201l4 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495): dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-I9) dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini”.

Penggalan kalimat “tidak berlaku sepanjang berkaitan …..” itu, tafsir hukumnya ada dua, pertama, bisa berlaku normal kembali kapanpun, dengan indikator pemerintah mengeluarkan peraturan kebijakan yang bersifat normal Kembali.

Contoh dalam konteks ini, ketika proses transaksi ekonomi pasar sudah diperbolehkan  beroperasi dan berjalan normal (baca: pertokoan, transaksi pasar nasional-internasional, dll), hingga pemberlakuan kewajiban antara pihak kreditur-debitur atau dengan lembaga keuangan negara terkait tanggung jawab finansialnya sudah berlaku secara normal Kembali.

Dan yang kedua, tetap tidak berlaku selama pemerintah menggunakan tafsir subyektifnya dengan menggeneralisir penggalan kalimat “….. dan/atau dalam menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan” dengan indikator menurut ketentuan pemerintah.

Konsekwensi logis jika pemerintah menggunakan ketentuan narasi di atas, maka harus bisa membuktikan/memastikan negara memang tidak lagi memperoleh pendapatan dari pajak, atau upaya lain dalam bentuk pinjaman luar negeri dan/atau mencetak uang baru sebagai upaya politisnya.

Penggalan kalimat “… Pemerintah Daerah diberikan kewenangan …” itu, bisa ditafsirkan bentuk keleluasaan kekuasaan kepala daerah menentukan pilihan mata anggaran berdasarkan pertimbangan politisnya, demi menyelamatkan proses ketatanegaraan di tingkat daerah (propinsi dan kabupaten).

Tafsir hukumnya bisa berarti bahwa pihak kepala daerah bisa tetap berhak mengajukan anggaran dana untuk alokasi anggaran sumber keuangan desa kepada pemerintah pusat, selain pengajuan dana untuk penanganan dan pencegahan pandemic COVID-19.

Basis argumentasi dan jastifikasi secara logis dan rasionalnya, yaitu dengan menggunakan tafsir hukum atas ketentuan yang termaktub dalam lampiran UU.No.2/2020 bagian kedua terkait “Kebijakan di Bidang Keuangan Daerah” Pasal 3 ayat (1) Perpu.No.1/2020, tentunya dengan “pertimbangan subyektif politis” kepala daerah (Propinisi dan Kabupaten) tertentu.

Ketentuan dimaksud menyebutkan “Dalam rangka pelaksanaan kebijakan di bidang keuangan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4), Pemerintah Daerah diberikan kewenangan untuk melakukan pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu (refocusing), perubahan alokasi, dan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah”.

Implikasi politk sebagaimana paparan di atas, dengan sendirinya praktik pelaksanaan lampiran UU.No.2/2020 berdasarkan ketentuan pasal 28 angka 8 Perpu.No.1/2020 tersebut, seharusnya tidak dengan serta merta bisa diabaikan begitu saja, karena pihak pemerintah pusat “harus mempertimbangkan hak politik pemerintah daerah (Propinsi dan Kabupaten)” atas “pemberlakuan azas derivative” yang dimiliki Gubernur dan Bupati yang menjadi kepanjangan tangan kemendagri dan Presiden sebagai kepala pemerintahan.

Berdasarkan tafsir hukum di atas, maka konsekwensi politis yang bisa dijadikan jastifikasi hukumnya, maka dalam kontek ini pemerintahan Desa tetap berhak mendapatkan alokasi dana desa dari pemerintah Propinsi dan Kabupaten dengan pertimbangan khusus, sesuai ketentuan :

  1. Pasal 72 ayat (1) huruf c yang menyebutkan “Pendapatan Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (2) bersumber dari bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota”, yang apabila pemerintah Kabupaten/Kota tidak menerapkan atau telah mengakhiri kebijakan PSBB, sehingga praktik pungutan pajak daerah dan retribusi daerah telah berjalan normal seperti praktik sebelumnya.
  2. Pasal 72 ayat (1) huruf d yang menyebutkan “alokasi dana Desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota”, yang karena sumber dana perimbangan beragam sumbernya, sehinga dalam logika hukum ketatanegaraan pemerintah daerah (Propinsi dan Kabupaten) tetap menerima pendapatan berdasarkan alokasi dana dari pemerintah pusat sesuai nomenklatur yang berlaku secara reguler.

Pengalokasian dana perimbangan secara ketatanegaraan tidak bisa ditunda dalam kondisi politik negara bagaimanapun, karena penggunaan dana yang bersumber dari pendapatan APBN tersebut merupakan kewajiban politis atas komitmen antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi Fiskal.

Keharusan pemerintah daerah melaksanakan desentralisasi fiskal sisi belanja (expenditure) sebagai kewenangan untuk mengalokasikan belanja sesuai dengan diskresi politik seutuhnya masing-masing daerah. Fungsi dari Pemerintah Pusat hanyalah memberikan advice serta monitoring pelaksanaan.

  1. Pasal 72 ayat (1) huruf e yang menyebutkan “bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota” apabila pemerintah Kabupaten/Kota dan propinsi tidak menerapkan atau telah mengakhiri pelaksanaan kebijakan PSBB, sehingga pemerintah propinsi dan kabupaten bisa menerapkan kebijakan pembangunan daerahnya secara regular seperti kebiasaan semula.

Pemerintah daerah (Propinsi dan Kabupaten) juga bisa menggunakan peluang kevakuman hukum jika pihak Kemendagri belum menyiapkan perangkat hukum sebagaimana yang dimandatkan berdasarkan ketentuan lampiran UU.No.2/2020 tentang Kebijakan di Bidang Keuangan Daerah, sesuai ketentuan Pasal 3 ayat (2) Perpu.No.1/2020.

Ketentuan sebagaimana dimaksud di atas menyebutkan bahwa “Ketentuan mengenai pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu (refocusing), perubahan alokasi, dan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri”.

Posisi Dan Peran NGO/Lembaga Pendamping

Dalam konteks ini, peran NGO/lembaga pendamping desa diharapkan mampu memberikan edukasi politis kepada para perangkat desa (baca: Kepala Desa, ketua BPD, ketua BUMDes) mengenai hak politik desa melalui narasi dan literasi tertentu, berikut argumen dan jastifikasinya berdasarkan tafsir hukum peraturan perundangan yang berlaku.

Posisi politis NGO dan lembaga pendamping desa sangat vital dan strategis kaitannya dengan tema bahasan tulisan opini ini. Dengan kapasitas yang dikuasainya, setidaknya mampu melakukan koreksi dan klarifikasi atas kekeliruan yang terjadi, dengan menawarkan berbagai solusi kepada aparat pemerintah daerah (baca: propinsi dan kabupaten).

Fungsi politisnya juga punya peluang dan kesempatan melakukan mediasi konflik dan upaya mengantisipasi terjadinya masalah yang disebabkan karena penangguhan alokasi dana desa mengenai , hingga terjadinya konflik secara vertikal (pemerintah desa dengan pemerintah Propinsi dan kabupaten) maupun konflik horizontal antara pemerintah desa, masyarakat, pemkab dan pihak ketiga terkait.

Implikasinya dengan penerapan UU.No.2/2020 yang berpotensi pemerintah (pusat dan daerah) akan mengabaikan penerapan ketentuan pasal Pasal 72 Ayat (2) UU.No.6/2014 sebagaimana paparan di atas, maka keberadaan NGO/lembaga pendamping desa bisa membantu dan memberikan edukasi hukum-politik kepada para perangkat desa (baca: Kepala Desa, ketua BPD, ketua BUMDes), maupun saran/masukan kepada para pejabat pemerintah daerah (Propinsi dan Kabupaten) yang relevan dan berkepentingan langsung.

Simpulan 

Keberadaan dan realisasi UU.No.2/2020 merupakan keniscayaan politis yang penerapannya akan berdampak sistemik terhadap proses pembangunan ekonomi desa. Meskipun, dalam situasi dan konsisi politik apapun yang terjadi, upaya peningkatan kesejahteraan ekonomi dan dinamika sosial masyarakat desa harus menjadi prioritas politik pemerintah.

Andaipun pemerintah tetap kukuh pendiriannya tanpa ada diskresi politik tertentu hingga penerapan ketentuan Pasal 28 angka 8 UU.No.2/2020 hingga keberadaan ketentuan Pasal 72 ayat (2) beserta penjelasannya UU.No.6/2014 tentang Desa dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran COVID-I9 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan ini, maka pemerintah akan menanggung akibat politik lebih besar.

Setidaknya bangunan tatanan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat desa yang sudah mulai nampak gestur geliat dinamikanya, akan runtuh kembali hingga memunculkan rasa ketidakpecayaan politik mengenai keseriusan dan kepeduliannya terhadap pembangunan dan kesejahteraan masyarakat desa.

Semoga tulisan opini tentang “Tafsir Hukum: Praktik UU.No.2/2020 Tidak Boleh Mereduksi Hak Politis Desa” ini, bisa dijadikan materi untuk bahasan diskusi dalam upaya mengembalikan hak politik desa yang sedang menghadapi masalah saat ini.

Penulis: Khusnul Zaini, SH. MM.

Advokat dan Aktivis Lingkungan Hidup Nasional

Bahan bacaan/referensi :

  1. Judul Tulisan: Pembangunan Desa, Nawa Cita Jokowi Paling Menonjol, diposting 24/05/2018
  2. Judul tulisan: Diskusi Terbuka Refleksi 6 Tahun UU Desa: Outlook Bumdes dan Bumdes Bersama 2020, diposting 11/02/2020 
  3. Judul tulisan: Hingga 2018, 61 Persen Desa di Indonesia Sudah Punya BUMDes, diposting 26/04/2019
  4. citamiang.desa.id

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun