Di tengah lanskap menghadapi tantangan perubahan iklim dan ketergantungan pada sumber energi konvensional, didapati peran perempuan yang tidak mendapatkan perhatian selayaknya.
Perempuan dan isu keberlanjutan di level kebijakan versus garda terdepan dalam kehidupan sehari-harinya, seolah dipisahkan jurang yang teramat jauh untuk dijembatani.
Fakta ini membuat kita semakin memahami apa yang diungkap laman web Oxfam sebagaimana dikutip di atas dalam kaitannya dengan transisi energi adil bagi semua.
Perempuan (dan anak-anak) adalah sosok-sosok yang paling terdampak, tetapi dalam praktik kehidupan nyata perempuan adalah figur yang paling diliputi oleh peluang memanfaatkan energi lokal.
Yessi Febrianty dalam tulisannya untuk Coaction Indonesia menyebut bahwa sektor energi kerap dianggap sebagai area lelaki. Peran perempuan kurang mendapatkan perhatian, padahal perempuan memegang peranan kunci sebagai agen perubahan.
Dalam kehidupan sehari-hari, baik di pedesaan ataupun perkotaan, pemegang "kuasa" sesungguhnya adalah perempuan.
Contoh paling sederhana dan mudah untuk disebutkan, perempuan adalah sosok yang menggunakan energi angin untuk mengeringkan pakaian seluruh anggota keluarganya.
Mungkin tampak sebagai aktivitas biasa, tetapi penggunaan energi angin secara tradisional (menjemur) merupakan adaptasi lokal yang efektif terhadap sumber daya alam yang tersedia.
Dalam kehidupan keseharian di pedesaan, tidak jarang kita jumpai perempuanlah yang menginisiasi instalasi biomassa limbah ternak untuk memproduksi gas masak di dapur mereka.
Perempuan dan kelompok rentan yang tersurat dalam laman web Oxfam semakin menjadi jelas teritama dalam kaitannya dengan transisi energi adil yang setara bagi semua.
Pada bagian lain tulisannya, Yessi Febrianty menyoroti peran besar perempuan dalam upaya efisiensi energi dan pengurangan emisi skala rumah. Misalkan saja, menghemat penggunaan listrik, air, hingga limbah rumah tangga.