Mohon tunggu...
Ang Tek Khun
Ang Tek Khun Mohon Tunggu... Freelancer - Content Strategist

Sedang memburu senja dan menikmati bahagia di sini dan di IG @angtekkhun1

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Rahasia Konten Optimal dari Dapur Kompasiana

10 April 2020   07:51 Diperbarui: 10 April 2020   09:02 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Desain ulang oleh Ang Tek Khun (icon: clipartmax.com)

Pada mulanya, bloging itu terasa mudah. Lekat dengan filosofi dasarnya. Sarana untuk menulis jurnal. Dalam bahasa Indonesia, ia disebut diari. Maka, "bloging" sebelum era daring, tak lain adalah aktivitas menulis diari.

Diari, ditulis diam-diam. Yang mewah, buku itu disertai gembok. Agar tidak dibaca orang lain. Sebab, isinya curhat. Dari yang paling umum, hingga yang paling rahasia. Jika tidak bergembok, ia disimpan rapi. Di tempat tertentu. Rahasia, agar tidak sulit ditemukan orang lain.

Diari sebagai buku, diproduksi megah. Halaman per halaman, didesain bagus. Kerap berwarna. Lembut. Dengan gambar-gambar menarik. Sampulnya, indah. Sering tampil dalam hard cover. Semua itu, tampaknya sebagai upaya. Agar si pembeli, rajin menulisinya. Agar si pemakai, setia padanya. Betah berlama-lama.

Ilustrasi menulis buku harian (Foto: picjumbo_com/Pixabay.com)
Ilustrasi menulis buku harian (Foto: picjumbo_com/Pixabay.com)
Entahlah. Mungkin, seperti itulah trik pada masanya. Untuk membangun budaya menulis. Dengan membuat buku diari yang bagus-bagus. Cara menaklukkan hati para remaja. Bahkan, anak-anak pra-remaja. Untuk membeli dan menulis.

Soal diari ini, ia mencatatkan dirinya di tempat mulia. Sebagian generasi lama, masih mengenangnya. Namanya terabadikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Dijelaskan secara ringkas di sana. Dalam dua kata, "Buku harian".

Blog Pribadi dan Blog Bareng
Bloging, pada mulanya, memang sederhana. Hanya memilih platform yang ada. Mendaftar, lalu terbukalah akun pribadi Anda. Diutak-atik seperlunya. Lebih pada penataan fungsional. Sebelum kemudian lebih berkembang. Saat "skincare", tampilan muka blog, menjadi penting.

Sebutlah tiga nama paling lazim ini. Blogspot dan Wordpress. Lalu, Multiply, yang memanjakan para penyuka foto. Platform terakhir ini, pada akhirnya terkapar. Fans beratnya berkabung. Hingga tiba era baru. Para penyuka foto kembali mendapat panggung. Itulah platform Instagram.

Semua bloger, pada masanya itu, membuat blog pribadi. Sebelum hadir dan populer yang bernama "bloging bareng". Bahasa kerennya, User-generated content (UGC). Seperti Kompasiana ini. Ada aku, kamu, dan dia.

Blog pribadi, berkembang makin modern. Desainnya makin canggih, fiturnya makin banyak dan variatif. Dan, tentu saja makin "profesional". Hosting sendiri, gak papa harus membayar. Menggunakan domain personal. Terasa istimewa, gak papa harus membayar.

Wordpress, salah satu platform yang populer (Foto: simplu27/Pixabay.com)
Wordpress, salah satu platform yang populer (Foto: simplu27/Pixabay.com)
Yang terakhir di atas, penyebutannya keren. Bahasa Inggris-nya, Top-level domain. Sementara dalam Bahasa Indonesia, menakjubkan. Ranah Internet tingkat teratas.

Kemasan lain, juga memasuki era mutakhir. Istilah di "personal blog", turut jadi keren. Para bloger dikenalkan dan dianjurkan pada hal baru. Branding. Optimalisasi blog dalam rangka membangun "Personal Branding".

Sampai di sini, menulis blog terasa mulai kurang organik. Bagaimana menjelaskannya? Mari kita pinjam ilustrasi. Penyebutan dalam cabang olah raga tertentu. Dalam tinju misalnya, dikenal istilah Amatir dan Profesional.

Dalam penjelasan sederhana, petinju Amatir "tidak" menerima imbalan uang. Para pemenang dihadiahi medali. Lazimnya emas, perak, dan perunggu. Perkara ada "sesuatu" usai turnamen, itu hal lain. Untuk pencapaian prestasi, ada apresiasi. Sebut saja itu sebagai "ucapan terima kasih".

Cerita akan berbeda saat petinju Amatir beralih Profesional. Ia akan mengikuti turnamen yang berbeda. Imbalannya, bukan lagi medali. Melainkan hadiah uang. Memburu uang dari sponsor. Dan, sumber-sumber lain. Seolah sedang memperkaya diri. Itulah perbedaan keduanya.

Tentu saja, maaf, ini sekadar ilustrasi. Dan ilustrasi, selalu tidak sempurna. Ada keterbatasan dalam memberikan gambaran utuh.

Membangun Reputasi
Lalu, bagaimana dengan platform ngeblog bareng? Yang di atas ditulis User-generated content (UGC)?

Di Indonesia, UGC seperti Kompasiana tidak terlalu banyak. Teman-temannya, "sebagian" sudah gugur. Ada juga yang masih bertahan. Paling langgeng dan berkembang, tentu saja Anda kenal. Inilah dia, Kompasiana.

Nah, sekarang kita hampir tiba pada kesimpulan awal. Sebagai bingkai tulisan ini. Atau, benang merah yang melintang.

Jadi, bloger pribadi mengejar "Personal Branding". Begitu penggambarannya. Sementara itu, bloger UGC menguber apa? Jawabannya, Reputasi!

Blogshop Kompasiana, Live Streaming bersama Widha Karina, Content Superintendent (Screenshot oleh Ang Tek Khun)
Blogshop Kompasiana, Live Streaming bersama Widha Karina, Content Superintendent (Screenshot oleh Ang Tek Khun)
Reputasi. Membangun reputasi. Inilah kata kunci yang mengkristal. Ditaruh pada bagian akhir pemaparan materi oleh Widha Karina. Ia berbicara dalam kegiatan berkemas Blogshop. Berlangsung belum lama ini, pada Kamis, 9 Maret 2020.

Sejatinya, acara dalam tajuk Blogshop berlangsung jumpa fisik. Di kantor Kompasiana. Daya rangkul audiensnya, tentu terbatas. Namun, ada berkah atas situasi pandemi Covid-19. Kali ini, diselenggarakan secara daring. Alhasil, mampu meraih lebih banyak keterwakilan. Beragam "kontestan" Kompasianer.

Pada sederhananya, pemangku jabatan Content Superintendent ini berbicara tentang dua hal. Atau, dua bagian materi. Pertama, tentang rahasia dapur. Bagaimana Manajemen Konten (proses internal) dijalankan di Kompasiana. Kedua, tentang Produksi Konten---dalam hal ini sisi Kompasianer. Mari kita tengok keduanya.

Manajemen Konten
Perkara optimasi, ada dua hal yang paling kentara dilakukan Kompasiana. Pertama, melakukan pekerjaan kurasi konten. Maksudnya, agar konten tampil prima. Kedua, mengatur penempatan konten. Ini adalah langkah strategis. Agar menjangkau lebih banyak audiens.

Kurasi dilakukan tim Kompasiana melalui kerja keras. Memelototi setiap konten baru yang mengalir masuk. Sebagai gambaran, Widha mengambil contoh aliran konten periode bulan Maret 2020. Dalam bulan yang baru usai ini, masuk sebanyak 19.575 artikel.

Jumlah 19.575 artikel ini ia dimaknai lebih rinci. Sebagai 631 artikel per hari, 26 artikel per jam, dan kemewahan baca 2,3 menit per artikel. Semua itu, diproses melalui tiga level atau tahap. Berlangsung dalam 5-7 sif kerja dalam 24 jam.

Rekap naskah masuk ke Kompasiana bulan Maret 2020 (Screenshot oleh Ang Tek Khun)
Rekap naskah masuk ke Kompasiana bulan Maret 2020 (Screenshot oleh Ang Tek Khun)
Mengenai tiga level atau tahap periksa konten ini, tidak dirinci detail oleh Widha. Yang pasti, tugas utama tim adalah mengecek setiap konten. Menggunakan standar yang pasti. Terurai dalam Syarat dan Ketentuan (S&K) Kompasiana.

Pekerjaan paling utama Kakak-kakak di K dapat diringkas. Tak lain adalah mengurusi "keamanan" konten. Aman dari teknis sajian agar enak dibaca. Dan, ini dia yang paling krusial dan menyita waktu. Aman dari sisi tidak ada pelanggaran hak cipta.

Pelanggaran atas hak cipta, kerap terjadi. Terutama pada tulisan dan gambar. Atau, materi pendukung lain yang menyertai artikel. Sebagai gambaran, Widha memberikan informasi memadai. Menarik untuk kita simak.

Pada bulan Januari 2020, tercatat 17% pelanggaran. Pada Februari 2020, agak turun. Ada sebanyak 14% pelanggaran. Sayangnya di bulan Maret 2020, kembali naik. Tercatat terjadi 16% pelanggaran.

Optimasi yang kedua, terkait dengan moderasi. Ini soal penempatan konten, sesuai struktur atau bagan alirnya. Semacam pembagian kapling untuk setiap konten. Terkandung di dalamnya, dalam bahasa saya, ada urusan "kasta" atas konten.

Kapling yang dimaksud, telah Anda kenali. Terbaru, Pilihan, Artikel Utama (AU/Headline), serta Featured Article dan kurasi (tema). Bukan sekadar pengelompokan. Ini menandai rute perjalanan konten. Sejauh mana ia kuat mengalir hingga jauh?

Paling pelik, tampaknya adalah urusan penempatan konten pada Artikel Utama (AU). Itu sebabnya, banyak item yang dibahas. Sangat terkait dengan porsi bahasan kedua, yaitu Produksi Konten. Ini ada di sisi Kompasianer---sang penulisnya.

Produksi Konten
Ada tiga warna "alert" yang digunakan Widha. Ketiganya untuk mendedah konten. Tentu efektif dalam rangka kualifikasi Artikel Utama (AU).

Rahasia di balik sebuah Artikel Utama (AU/Headline) (Screenshot oleh Ang Tek Khun)
Rahasia di balik sebuah Artikel Utama (AU/Headline) (Screenshot oleh Ang Tek Khun)
Pertama, Kuning. Menyangkut tiga unsur. Konten harus bebas dari pelanggaran, konten harus orisinal, dan konten harus mengandung unsur kebaruan-otentik-unik.

Kedua, Biru. Terkait momentum atau tren yang sedang berlangsung. Lainnya, konten harus konprehensif. Dan, ada faktor reputasi penulisnya. Dua butir terakhir ini sangat terkait kompetensi Kompasianer.

Ketiga, Merah. Ada faktor atau kandungan Value, Pesan, Dampak, Diksi, dan Kemasan. Inilah elemen-elemen untuk menengok konten unggulan. Sementara Merah satunya lagi, adalah Level kompetisi. Ini tentang persaingan antarakonten yang "mirip" pada satu topik.

Tindakan Praktis
Pelanggaran yang terjadi pada konten Kompasianer, umumnya di tulisan dan gambar. Jumlahnya cukup banyak. Maka, selayaknya menjadi sumber utama perbaikan oleh Kompasianer. Ada tindakan-tindakan praktis untuk mengatasinya.

Terkait tulisan, menulislah secara orisinal. Jangan melakukan copy paste. Dalam jumlah banyak ataupun sedang. Jika sedikit, bisa dalam bentuk kutipan yang jelas sumbernya. Jika format berita, rangkumlah dua atau lebih sumber. Parafrasa-kan.

Apa arti kata "Parafrasa"? Pengungkapan kembali suatu tuturan dari sebuah tingkatan atau macam bahasa menjadi tuturan yang lain tanpa mengubah penertian. Begitu dijelaskan oleh App KBBI V.

Soal gambar, ada cara mudah. Pertama, gunakanlah situs yanf menyediakan image bebas royalty. Widha menyebutkan nama Pexes, Freepik, Unsplash, dan Flickr. Kedua, gunakan materi gambar dari media dalam grup Kompas dan Gramedia (KG). Ada Harian Kompas, Kompas.com, KompasTV, Grid, Warta Kota, dan Tribunnews.

Jangan lupa, tuliskan sumber pada caption atau keterangan gambar. Selain nama media, sebutkan pula fotografernya.

Hanya satu kata sih, Orisinalitas (Screenshot oleh Ang Tek Khun)
Hanya satu kata sih, Orisinalitas (Screenshot oleh Ang Tek Khun)
Akhir Kata
Sebagai kesimpulan akhir, ada dual hal yang menarik. Keduanya disampaikan Widha secara jernih. Pertama, dalam artikulasi saya, tetapkan tujuan. Anda mengejar viral atau kualitas?

Artikel Utama (AU) sekalipun, bukanlah tempat untuk menguber viral. Kerap terjadi, kinerja sebuah Artikel Utama, normal saja. Artikel viral, umumnya yang bombastis. Jika ingin viral dengan cara ini, jangan di sini. Pilihannya bukan menulis di Kompasiana. Sebab, sebombastis apa pun, bila di Kompasiana tetap harus dalam koridor S&K.

Kejarlah kualitas, maka posisi Artikel Utama (AU) menanti. Tidak ada obat penawar untuk ini. Kecuali, bisa ditoleransi, apabila sedang mengejar momentum. Namun, ini pun harus memenuhi kaidah paling dasar yang telah ditetapkan Kompasiana.

Kedua, enjoy dalam menulis, banyak latihan, dilandasi niat baik, dan hasilkan konten berkualitas. Itulah pesan pamungkas Widha Karina. Silakan dicermati. Dan, selamat menulis dengan perspektif baru ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun