Dari aktivitas “menggelandang” di kaki lima ini muncul energi besar dalam membuka wawasan, menggulirkan gagasan, dan mendorong karya. Pada masa keemasannya, sebelum Umbu hijrah ke Bali hingga kini, komunitas ini mampu menjadi titik pijar bagi sekitar 1500-an pegiat sastra. Tak heran bila di masa itu, jauh sebelum reformasi meruntuhkan imaji sangar atas kata “presiden”, Umbu sudah didaulat menjadi Presiden Malioboro.
Alhasil, dari komunitas warga yang ber-elan vital di ruang publik ini, lahir banyak karya yang menghiasi wajah sastra Indonesia serta sosok-sosok penyair, budayawan, seniman yang mengukir kiprah nasional. Sebutlah saja beberapa yang mudah diingat misalnya Emha Ainun Najib, Ebiet G Ade, Mustofa W Hasyim, dan Linus Suryadi AG. Dan tak boleh diingkari, pada masa itu PSK menjadi buah bibir dan acuan kehadiran banyak pegiat sastra dari berbagai kalangan dan daerah.
Kota Terperangkap Dalam Bias
Berkebalikan dari itu yang akan terjadi bila manusia tidak menjadi pusat orientasi. Bakti Setiawan tanpa segan berbicara tegas dalam diskusi panel "Psikologi Perkotaan: Intervensi Kita dalam Kota" di Universitas Indonesia (2014). Ketua Asosiasi Sekolah Perencanaan Indonesia ini dengan gamblang mengungkapkan terjadinya enam konsep pembangunan yang bias dilakukan oleh para perancang, perencana, dan pengambil kebijakan pembangunan kota. Mengutip langsung, keenam bias tersebut adalah:
Pertama, terkait aspek material atau fiskal. Pembangunan hanya mementingkan materi tanpa memerhatikan kearifan lokal, budaya, dan identitas warga.
Kedua, terkait pembangunan yang dilaksanakan dengan lebih menguntungkan pengusaha kapital atau komersial. Dalam bias kapital, sumber daya kota, termasuk warga yang tinggal di wilayah tertentu, difungsikan sebagai komoditas yang semata dinilai bisa memberikan keuntungan materi.
[caption caption="Trotoar dengan guiding block di Yogyakarta: Mengapa di sini dan untuk siapa?"]
Ketiga, bias personal ketika perencanaan dan pembangunan kota lebih memihak kepentingan individu.
Keempat, bias spasial, yaitu kecenderungan menata kota dari aspek ruang saja.
Kelima, bias pemerintah atau penguasa, yaitu pembangunan demi kepentingan penguasa.
Keenam, bias jender, yaitu pembangunan tidak mempertimbangkan struktur demografi masyarakat kota, seperti jumlah perempuan, laki-laki, dewasa, remaja, anak, dan kaum difabel.