Mohon tunggu...
Ang Tek Khun
Ang Tek Khun Mohon Tunggu... Freelancer - Content Strategist

Sedang memburu senja dan menikmati bahagia di sini dan di IG @angtekkhun1

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Manusia di Antara Kota dan Ruang Publik

30 September 2015   23:36 Diperbarui: 1 Oktober 2015   00:47 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Foto: Ilustrasi (Pixabay)"][/caption]

Deru pembangunan yang kencang di perkotaan dengan daya pikat tinggi sebagai konsekuensi logis dari pertumbuhan ekonomi, telah memangsa ruang-ruang hingga menggerus batas dan mengundang arus urbaninisasi yang tak terelakkan. Di sisi lain, kesadaran akan kebutuhan ruang-ruang publik (public spaces) yang muncul kemudian dan dituangkan melalui produk perundangan (hukum), kerap dieksekusi sekadar untuk memenuhi tuntutan kuota yang disyaratkan. Hasilnya, terkadang mewujud hanya dalam rupa ruang tanpa dampak signifikan dan berujung pada kondisi terbengkalai menjadi lahan tidur atau bahkan bertransformasi menjadi kawasan aktivitas "remang" serta mengikis rasa aman warga.

Wacana dan eksekusi ruang publik yang sekadar memenuhi tuntutan legalistik, sudah pasti akan kehilangan orientasi yang sejati, di mana warga (baca: manusia) seharusnya menjadi Subjek. Realitas yang terjadi, kerap kali manusia sebagai subjek tidak hadir dalam pusaran pembangunan. Desain (arsitektur) canggih, pemenuhan sarana fisik semata (tanamam, bangku, wifi) misalnya, lebih mengemuka daripada kajian psikologis akan kebutuhan warga yang ada di kawasan tersebut.

[caption caption="Manusia berebut ruang publik dan sering kali kalah"]

[/caption]

Ketika Amanda Burden berbicara dalam forum TED dengan tajuk How Public Spaces Make Cities Work, ia mulai dari narasi paling mendasar yang kerap pupus dalam benak para pengonsep. Ketika kita berpikir tentang kota, kita cenderung berpikir tentang bangunan, jalan, gedung pencakar langit, atau lalu lintas yang padat dan menyebabkan macet. "But when I think about cities, I think about people," ujar Amanda. Kota tanpa manusia, serupa rumah hantu. Bagi Amanda, yang paling fundamental adalah manusia. Ke mana manusia pergi dan di mana manusia saling berjumpa, itulah esensi keberlangsungan sebuah kota. Dan ruang publik hadir di antara keduanya.

Ketika diminta membenahi ruang publik, Amanda memulai pekerjaannya dengan mendengarkan, mendengarkan, dan mendengarkan. Ia mendengarkan aspirasi warga dan berbicara dengan komunitas warga. Ruang publik yang baik tidak diletakkan di tangan lain kecuali warga, sehingga ruang publik yang baik pada naturnya akan memikat dan mendorong orang untuk hadir, dan kehadiran orang-orang itu pada akhirnya menarik orang lain untuk juga hadir. Hingga tempat itu tak ubahnya rumah kedua yang dirindukan bersama. Dari ruang publik beginilah lahir banyak energi, gagasan, dan transformasi bagi komunitas, bangsa, dan negara.

Kisah Openbare Vergaderingen dan Kiprah Persada Studi Klub

Dari artikel yang ditulis Rianne Subijanto, kita akan mendapati kisah mengenai fungsi liat ruang publik yang mengukir sejarah. Ringkas kata, tahun 1920-1926 adalah periode titik balik sejarah gerakan revolusi sosial di Indonesia (gerakan anti-kolonial). Jika sebelumnya asosiasi dan rapat diadakan oleh dan untuk kaum elite pribumi, maka pada rentang ini Rianne mencatat telah berlangsung sekitar 900 rapat umum diadakan di Hindia Belanda yang terkonsentrasi di Jawa dan Sumatera. "Pertemuan-pertemuan ini diadakan di daerah pegunungan, pesisir pantai, dan bahkan daerah terpencil lainnya di rumah-rumah, lapangan, kantor, dan bioskop dengan jumlah peserta 50-10.000 orang termasuk laki-laki, perempuan, orang Tionghoa, pribumi dan warga keturunan India dan Arab."

Minimnya akses pendidikan, tulis Rianne, membuat openbare vergaderingen menjadi alat pendidikan untuk mayoritas rakyat yang tidak sekolah. Di sini, biasanya koran dibacakan dengan keras untuk kemudian dibahas dan didebatkan. Tak pelak openbare vergaderingen menjadi ajang bagi masyarakat memperbarui pengetahuannya tentang masalah luar negeri, analisis sejarah, dan isu-isu lokal lainnya.

Kisah kedua, hanya sekadar memperpendek rangkaian contoh, kita melompat pada apa yang terjadi di kota Yogyakarta pada kisaran waktu 1968/69 hingga 1977. Tanpa mengecilkan eksistensi kantong-kantong budaya di beberapa kota kunci di tanah air, hal fenomenal yang patut diungkap adalah kehadiran Persada Studi Klub (PSK) dari rahim kota Yogyakarta, atau tepatnya ruang publik bernama trotoar. Sejarah sastra di tanah air mencatat komunitas penyair (sastrawan) muda ini eksis di trotoar Jalan Malioboro dengan motor penggerak bernama Umbu Landu Paranggi.

[caption caption="Malam Sastra Bulan Purnama di Tembi, Yogyakarta"]

[/caption]

Dari aktivitas “menggelandang” di kaki lima ini muncul energi besar dalam membuka wawasan, menggulirkan gagasan, dan mendorong karya. Pada masa keemasannya, sebelum Umbu hijrah ke Bali hingga kini, komunitas ini mampu menjadi titik pijar bagi sekitar 1500-an pegiat sastra. Tak heran bila di masa itu, jauh sebelum reformasi meruntuhkan imaji sangar atas kata “presiden”, Umbu sudah didaulat menjadi Presiden Malioboro.

Alhasil, dari komunitas warga yang ber-elan vital di ruang publik ini, lahir banyak karya yang menghiasi wajah sastra Indonesia serta sosok-sosok penyair, budayawan, seniman yang mengukir kiprah nasional. Sebutlah saja beberapa yang mudah diingat misalnya Emha Ainun Najib, Ebiet G Ade, Mustofa W Hasyim, dan Linus Suryadi AG. Dan tak boleh diingkari, pada masa itu PSK menjadi buah bibir dan acuan kehadiran banyak pegiat sastra dari berbagai kalangan dan daerah.

Kota Terperangkap Dalam Bias

Berkebalikan dari itu yang akan terjadi bila manusia tidak menjadi pusat orientasi. Bakti Setiawan tanpa segan berbicara tegas dalam diskusi panel "Psikologi Perkotaan: Intervensi Kita dalam Kota" di Universitas Indonesia (2014). Ketua Asosiasi Sekolah Perencanaan Indonesia ini dengan gamblang mengungkapkan terjadinya enam konsep pembangunan yang bias dilakukan oleh para perancang, perencana, dan pengambil kebijakan pembangunan kota. Mengutip langsung, keenam bias tersebut adalah:

Pertama, terkait aspek material atau fiskal. Pembangunan hanya mementingkan materi tanpa memerhatikan kearifan lokal, budaya, dan identitas warga.

Kedua, terkait pembangunan yang dilaksanakan dengan lebih menguntungkan pengusaha kapital atau komersial. Dalam bias kapital, sumber daya kota, termasuk warga yang tinggal di wilayah tertentu, difungsikan sebagai komoditas yang semata dinilai bisa memberikan keuntungan materi.

[caption caption="Trotoar dengan guiding block di Yogyakarta: Mengapa di sini dan untuk siapa?"]

[/caption]

Ketiga, bias personal ketika perencanaan dan pembangunan kota lebih memihak kepentingan individu.

Keempat, bias spasial, yaitu kecenderungan menata kota dari aspek ruang saja.

Kelima, bias pemerintah atau penguasa, yaitu pembangunan demi kepentingan penguasa.

Keenam, bias jender, yaitu pembangunan tidak mempertimbangkan struktur demografi masyarakat kota, seperti jumlah perempuan, laki-laki, dewasa, remaja, anak, dan kaum difabel.

[caption caption="Sarana di ruang publik: Untuk manusia tapi manusiawikah?"]

[/caption]

Bagi Bakti Setiawan, bias pembangunan ini tidak seharusnya ada. Bahkan secara pragmatis ia menegaskan bahwa pembangunan tidak harus berupa pengadaan barang atau fisik bangunan. Pembangunan bisa dilaksanakan dalam kerangka perlindungan fasilitas yang sudah ada dan menjamin terpenuhinya kebutuhan warga.

Manusia Sebagai Subjek dalam Kodrat Ilahi dan Psikologis

Secara kodrati, manusia adalah pusat kreasi yang tak terbantahkan. Narasi ini menuturkan bahwa pada mulanya, sebelum menghadirkan manusia, Sang Khalik terlebih dahulu membangun setting (by design, bukan by accident). Setting itu adalah ruang publik, dan ruang publik ini memiliki tujuan: menyambut kehadiran manusia. Kita membaca dengan jelas kisah ini, dari ketiadaan menjadi ada, Allah memulainya dengan membuat alam semesta, dan bumi ada di sana. Menyusul kemudian adalah infrastruktur dasar, mulai dari electricity, "instalasi" air, daratan, "sistem ketahanan pangan", dan ekosistem selengkapnya. Dan pada puncak kreasi, Allah menciptakan manusia sebagai mahkota atas seluruh rangkaian karya cipta-Nya. Susunan atau urutan (orde) ini dengan bening menempatkan manusia sebagai subjek, titik orientasi, atau esensi dari proses pembangunan setting—pembangunan, tata kota, tata ruang terbuka publik.

Secara fisik, manusia adalah makhluk yang bertumbuh melalui proses. Semenjak masa prenatal di mana terjadi pembentukan struktur tubuh, pertumbuhan kepala dan bagian tubuh penting lainnya, hingga mampu membuat gerakan di dalam rahim. Setelah kelahiran, ada rangkaian dari bayi hingga anak-anak, praremaja hingga dewasa, dan masa lansia. Dalam perkembangan fisik ini, manusia membutuhkan ruang untuk berlatih dan berkembang dengan baik.

[caption caption="Sarana parkir sepeda di dekat halte TransJogja di Kotagede"]

[/caption]

Secara psikologis, manusia adalah makhluk sosial, karena itu ruang publik adalah bagian dari kebutuhan manusia. Karen Tambayong saat menghadiri sebuah konferensi (2013) mengatakan, "Kota Melbourne betul-betul merupakan kota yang memenuhi syarat sebagai liveable city karena udaranya bersih, tamannya banyak, dan manusia itu merasa menjadi manusia karena ada tempat pedestrian-nya, ada bicycle track-nya ... dimanjakan sekali bisa melihat pantai, bisa melihat botanical garden (kebun raya)."

Prof Mettina Veenstra dari Saxion University menuturkan bahwa ruang publik yang unik dan tertata dapat menciptakan lingkungan yang mendukung masyarakatnya menjadi kreatif. Energi positif yang lahir dari ruang publik pada gilirannya akan meningkatkan semangat masyarakat untuk berinovasi sehingga produktivitasnya ikut meningkat.

Psikolog Universitas Indonesia Niniek L Karim mengungkapkan bahwa setiap kota memiliki kecenderungan kesesakan dan kepadatan. Untuk menghindari stres, warga kota dituntut beradaptasi dengan mengabaikan kebutuhan orang lain. "Apa pun kondisinya, setiap orang bergerak mencari kebahagiaan. Pengalaman kebahagiaan terbesar, yaitu bersantai dan interaksi sosial. Sementara pengalaman paling tidak menyenangkan adalah aktivitas pergi-pulang kantor."

[caption caption="Area menyeberang untuk peseda di Kotabaru, Yogyakarta"]

[/caption]

Ninik memberi penegasan bahwa untuk mewujudkan kota yang bahagia, pelibatan warga dibutuhkan untuk mengintervensi kebijakan pembangunan. Ia lalu mengisahkan bahwa pada 1980-an, kota Chicago pernah dianggap sebagai kota yang tidak membahagiakan. Setelah warga dilibatkan dalam pembangunan melalui gerakan Chicago Glue, kota itu berkembang menjadi kota yang membahagiakan. "Warga perlu ditanya apa kebutuhan hidupnya? Apa yang membuatnya bahagia? Pembangunan dilaksanakan untuk menjawab itu," ujarnya.

Ringkasnya, manusia adalah makhluk holistik (menyeluruh, utuh) dan dalam mencapai keutuhan ini manusia membutuhkan interaksi dengan orang terdekat, orang lain, dan ruang publik menyempurnakan semua itu. Pada gilirannya ruang publik yang baik bukan hanya memberi manfaat bagi individu, melainkan juga manusia sebagai komunitas atau massa.

* * *

[caption caption="Sumber: cleardesignuk.com"]

[/caption]

Pada akhirnya, apa yang diucapkan Amanda Burden dapat menjadi narasi pamungkas kita. Ruang publik dapat mengubah bagaimana kita menjalani kehidupan di sebuah kota, bagaimana merasakan sebuah kota. Dan ruang publik adalah alasan terpenting mengapa kita menghuni sebuah kota. “Saya percaya bahwa sebuah kota yang sukses adalah seperti pesta yang menakjubkan. Orang-orang tidak beranjak pulang karena mereka sangat menikmatinya.”

Oleh karena itu, siapa pun pengonsep ruang publik, marilah dimulai dari menempatkan warga (manusia) sebagai subjek dan menyediakan telinga untuk mendengarkan. []

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun