Mohon tunggu...
Ang Tek Khun
Ang Tek Khun Mohon Tunggu... Freelancer - Content Strategist

Sedang memburu senja dan menikmati bahagia di sini dan di IG @angtekkhun1

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Manusia di Antara Kota dan Ruang Publik

30 September 2015   23:36 Diperbarui: 1 Oktober 2015   00:47 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari aktivitas “menggelandang” di kaki lima ini muncul energi besar dalam membuka wawasan, menggulirkan gagasan, dan mendorong karya. Pada masa keemasannya, sebelum Umbu hijrah ke Bali hingga kini, komunitas ini mampu menjadi titik pijar bagi sekitar 1500-an pegiat sastra. Tak heran bila di masa itu, jauh sebelum reformasi meruntuhkan imaji sangar atas kata “presiden”, Umbu sudah didaulat menjadi Presiden Malioboro.

Alhasil, dari komunitas warga yang ber-elan vital di ruang publik ini, lahir banyak karya yang menghiasi wajah sastra Indonesia serta sosok-sosok penyair, budayawan, seniman yang mengukir kiprah nasional. Sebutlah saja beberapa yang mudah diingat misalnya Emha Ainun Najib, Ebiet G Ade, Mustofa W Hasyim, dan Linus Suryadi AG. Dan tak boleh diingkari, pada masa itu PSK menjadi buah bibir dan acuan kehadiran banyak pegiat sastra dari berbagai kalangan dan daerah.

Kota Terperangkap Dalam Bias

Berkebalikan dari itu yang akan terjadi bila manusia tidak menjadi pusat orientasi. Bakti Setiawan tanpa segan berbicara tegas dalam diskusi panel "Psikologi Perkotaan: Intervensi Kita dalam Kota" di Universitas Indonesia (2014). Ketua Asosiasi Sekolah Perencanaan Indonesia ini dengan gamblang mengungkapkan terjadinya enam konsep pembangunan yang bias dilakukan oleh para perancang, perencana, dan pengambil kebijakan pembangunan kota. Mengutip langsung, keenam bias tersebut adalah:

Pertama, terkait aspek material atau fiskal. Pembangunan hanya mementingkan materi tanpa memerhatikan kearifan lokal, budaya, dan identitas warga.

Kedua, terkait pembangunan yang dilaksanakan dengan lebih menguntungkan pengusaha kapital atau komersial. Dalam bias kapital, sumber daya kota, termasuk warga yang tinggal di wilayah tertentu, difungsikan sebagai komoditas yang semata dinilai bisa memberikan keuntungan materi.

[caption caption="Trotoar dengan guiding block di Yogyakarta: Mengapa di sini dan untuk siapa?"]

[/caption]

Ketiga, bias personal ketika perencanaan dan pembangunan kota lebih memihak kepentingan individu.

Keempat, bias spasial, yaitu kecenderungan menata kota dari aspek ruang saja.

Kelima, bias pemerintah atau penguasa, yaitu pembangunan demi kepentingan penguasa.

Keenam, bias jender, yaitu pembangunan tidak mempertimbangkan struktur demografi masyarakat kota, seperti jumlah perempuan, laki-laki, dewasa, remaja, anak, dan kaum difabel.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun