"Dagang kuwe sing penting kiyeng lan tlaten. Mesti bakal ana manfaate lan untunge" (Berjualan itu yang penting ada niat, tekun dan teliti. Pasti akan ada manfaat dan keuntungannya). Begitulah satu kalimat yang terlontar dari seorang Waedah, pedagang ikan asap atau ikan panggang asal Kluwut, Brebes.
Secara kasat mata, tampak ia hanya orang biasa. Tetapi setelah saya berbincang langsung dengannya lebih dari satu jam, sungguh kudapati ia adalah orang yang luar biasa. Pendidikannya yang hanya sampai kelas 3 Sekolah Dasar (SD), tak mengecilkan niat dan tekadnya mengarungi pahit-getirnya kehidupan. Pergaulannya cukup luas serta perangainya yang baik membuat dirinya banyak disukai orang.
Perempuan sederhana kelahiran desa Kluwut kecamatan Bulakamba Brebes, 45 tahun lalu itu diberi amanah 5 orang anak. Kasim, suaminya hanya terpaut 1 tahun lebih tua darinya. Ia hanyalah seorang buruh pencari ikan (baca; miyang).Â
Pendidikan Kasim jauh kurang beruntung dari istrinya, Waedah. Kasim bahkan tidak pernah mengenyam bangku sekolah dasar sekalipun. Pendapatannya pun hanya bergantung dari hasil mencari ikan dengan bosnya. Biasanya Kasim ikut perahu orang untuk mencari ikan sampai ke luar pulau. Sekali berlayar, Kasim baru akan kembali 2 sampai 2,5 bulan yang akan datang.
Sebagian istri nelayan atau pencari ikan di daerah Waedah hanya bergantung dari hasil tangkapan ikan suaminya selama miyang (2 bulan lamanya). Maka tak heran, banyak perempuan yang berhutang di warung, hal itu karena tidak cukupnya uang tinggalan dari suaminya. Padahal tangkapan ikan selama miyang sangatlah bergantung dengan cuaca dan kondisi laut.Â
Di saat sedang banyak tangkapannya (baca; along) para nelayan akan riang gembira. Tangkapan melimpah ruah. Pundi-pundi rupiah pun terkumpul. Sebaliknya saat sepi (baca: laip), tangkapan ikan sedikit, tak jarang para nelayan dan pencari ikan mendapat upah di bawah standar kebutuhan sehari-hari keluarga.
Waedah tak seperti perempuan pada umumnya, ia tidak mengandalkan penghasilan suaminya. Waedah berusaha sendiri, dengan berjualan ikan asap atau ikan panggang di pasar Tanjung, tiap hari. Sedari kecil ia sudah makan garam berjualan ikan panggang. Sampai kini telah memiliki cucu, berjualan ikan asap masih ditekuninya. Puluhan tahun sudah, dunia berjualan ikan asap ia geluti. Suka-duka berjualan ia alami. Sampai pada akhirnya ia bisa menikmati hasil kerja keras dari keringatnya sendiri. Tak lagi miskin, tetapi keluarga sejahtera. Mungkin, predikat itu yang kini ia sandang.
Puluhan tahun silam, keluarga Waedah merupakan keluarga yang tergolong pas-pasan. Bahkan pernah beberapa tahun hidup menempati rumah orang. Namun Waedah tergolong perempuan yang tegar. Pahit getirnya kehidupan sudah ia rasakan semenjak kecil. Tak tamat dari bangku sekolah dasar, alih-alih Waedah kecil justru sudah membantu orang tuanya berjualan ikan asap di pasar Losari.
Tragisnya, Waedah yang saat itu baru berumur 10 tahunan, sudah dilatih untuk berjualan secara mandiri. Tak jarang, ibunya mengantarkan Waedah ke pasar Losari dan meninggalkannya dengan setumpuk ikan yang siap dijajakannya. Lantas Waedah ditinggal sendirian.Â
Ibunya hanya berpesan "Dah...kiye koen tak tinggal, mana iwak-iwak kiye didol, pokoke iwak kiye diregani 200, iwak kiye regane 500, Angger iwak sing kiye sapenek regane 2000. Terus ngko angger pan balik, kari numpak elp, mudune neng sadurunge Jembatan" (Dah...sekarang kamu tak tinggal, silahkan jual ikan-ikan ini. Kalau ikan ini dihargai 200, ikan ini harganya 500, kalau ikan yang ini, setumpuk 2000. Terus nanti kalau mau pulang tinggal naik angkot yang itu, turunnya sebelum Jembatan".
Anak-anaknya sudah tumbuh dewasa, satu diantaranya sudah berkeluarga. Dua anak perempuannya sudah tamat SMA dan kini bekerja di Jakarta. Dan di tahun 2020 pun Waedah mantap mengundurkan diri dari kepesertaan Program Keluarga Harapan (PKH).
Melalui pendamping PKH nya, Ni'matun Nissa, Waedah yang tercatat sebagai penerima PKH sejak tahun 2011, akhirnya memantapkan tekadnya, dengan sukarela tak lagi menerima bantuan sosial PKH. Semua itu karena didasari rasa bersyukur dan prinsip hidupnya yang lebih suka memberi dari pada meminta.Â
Apalagi Waedah menyadari bahwa hakekatnya PKH adalah bantuan bagi mereka para keluarga miskin. Ia tak mau meniadakan nikmat yang begitu banyak dari Allah SWT. Sungguh di kehidupannya yang sekarang, Waedah merasa jauh lebih dari cukup.
Langganannya pun sudah banyak. Dari setiap iris ikan yang terjual, Waedah bisa mendapat keuntungan 300 sampai 500 rupiah. Apalagi jika musim lebaran atau musim hajatan tiba, bisa dua kali lipat penjualannya. Bahkan terkadang ia juga kreatif menyediakan ayam potong sebagai tambahan dagangannya.
Waedah, tetaplah seorang Waedah yang dulu. Meski jualannya kini semakin meningkat, Ia tetap ramah dan baik hati. Bahkan dirinya semakin bersahaja, tekun beribadah, dekat kepada Allah SWT. Berjualan tak hanya mengejar target keuntungan saja, tetapi meyakini bahwa di setiap rizki yang didapatnya, sungguh ada bagian yang harus dibagikan kepada mereka yang membutuhkan.Â
Dengan penuh kejujuran, Waedah mengungkapkan rahasia pengalaman religinya yang justru membuatnya kini lebih dekat dengan Allah SWT. "Dahulu, saya akui. Mungkin saya kurang dekat dengan Allah SWT.Â
Jam 04.00 pagi saya sudah berangkat menjajakan dagangan ke pasar, tanpa mengindahkan kewajiban menjalankan Sholat Subuh. Tapi Alhamdulilah, kini saya berangkat berdagang selepas Subuh". Tak lupa sholat Subuh pun ia tunaikan berjamaah di masjid atau musholla. Dan ternyata Waedah justru menemukan rasa nyaman dan tenang  dengan kebiasaannya itu.
Rasa berbaginya kepada orang lain pun semakin bertambah, apalagi penghasilan Waedah kini cukup lumayan. Tak jarang ia sisihkan untuk jariyah masjid atau musholla serta berbagi dengan dhuafa di sekitarannya, seadanya. Waedah sering meminta kepada pengurus Musholla agar sedekahnya tak usah diumumkan. "Tolong ya tadz...ora usah diumumna, mung sacuil" (Tolong yah pak Ustadz, tidak usahlah diumumkan, cuma sedikit kok...).
Di pasar Tanjung, Waedah dikenal banyak pedagang lainnya sebagai sosok pribadi yang ramah, suka memberi dan periang. Kondisi pandemi Corona yang berdampak pada dagangannya tak ia pikirkan dengan serius. Terkadang di saat senggang atau lagi sepi pembeli, Waedah sering menghibur diri dengan menyanyi, tetembangan atau berjoged bareng pengamen keliling pasar. Semua dibuat enjoy saja.
Ia hanya berfikir, mungkin itu semua belum rezekinya. Sesekali ia juga dengan ikhlas menghutangi mereka yang memang membutuhkan ikan asapnya. Seperti ceritanya. Suatu saat pernah ada seorang ibu yang menginginkan ikan asapnya guna lauk di rumah, namun ia tak memiliki uang. Waedah pun dengan ikhlas menghutangi bahkan memberikannya dengan cuma-cuma.
Kesadarannya untuk berbagi dengan sesama tumbuh karena peristiwa yang tak terlupakan. Dahulu, Waedah mengakui bahwa dirinya berjualan tanpa mengenal waktu. Pundi-pundi rupiah didapatnya penuh kemudahan. Namun tiba-tiba suatu penyakit menimpanya. Hingga akhirnya, seorang dokter memvonis dirinya agar  dioperasi dengan biaya yang cukup besar. Sakit-sakitan, kolesterol tinggi, tak bergairah, tak nyaman, begitulah kondisinya saat itu.
Sampai pada suatu saat, ia dipertemukan dengan seorang kakek tua yang tak sengaja duduk disampingnya, satu angkot. Kakek tua yang tak dikenal itu, tiba-tiba memberikan nasehat kepada Waedah "Nok, koen kiye wong apik. Tulung ya Nok, yen dagangan kuwe emut sing 10 persene. Yen bisa bagekna karo sing mbutuhna. Terus wetenge koen sering dibersihi ya..." (Mbak, kamu itu orag baik. Tolong, kalau berjualan itu ingat dengan yang 10 persennya. Kalau bisa bagikanlah kepada yang membutuhkan. Dan ingat, sering-seringlah perutmu kau bersihi (puasa).
Sejak saat itu, wejangan dari kakek tua yang tak ia kenal itu, seolah meresap begitu dalam dan membukakan mata hati Waedah. Waedah semakin rajin beribadah dan menyisihkan 10 persen dari hasil keuntungannya untuk dibagikan kepada yang membutuhkan. Ia juga mulai rajin berpuasa. Dan ajibnya, ketekunan ibadahnya ternyata menghantarkan suaminya juga turut rajin ibadah, terutama berpuasa. Padahal ibadah puasa adalah sesuatu yang berat bagi sebagian nelayan atau para pencari ikan.
Sungguh kelembutan hati seorang Waedah patut menjadi teladan kita semua. Warpinah sebagai juragan ikan atau bosnya pun mengiyakan akan kelembutan hati dan perangai baik, seorang Waedah. "Waedah kuwe wonge apik, lumeh. Kae, bakal kemutan terus karo wong sing wis gawe apik karo deweke" (Waedah itu orang yang baik, ramah, suka memberi. Dia akan selalu ingat kepada orang-orang yang pernah berbuat baik kepadanya).
Imam Chumedi, KBC-28
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H