Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... -

Penulis dan Motivator Pembelajaran

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Pembunuh Parakang

7 Januari 2011   17:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:51 1211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baiklah. Akan kuceritakan kepadamu kenapa aku begitu bernafsu menghabisi Tutu dan begitu menghasrati Lebang. Semua bermula ketika kami masih sama-sama remaja. Waktu itu, sepuluh tahun sebelum aku tuturkan kisah ini, bulan dengan kemilau cahaya keperakannya begitu sempurna menyepuh kampung kelahiran kami, Borongtammatea. Tapi, malam itu, sunyi menyungkupi kampung dengan hawa dingin yang menusuk-nusuk kulit. Benar-benar malam paling mencekam. Daeng Manrawa, sesepuh kampung yang sangat disegani, tergeletak tak berdaya di tempat tidur menunggu maut datang menjemput. Malam itu pula, nyaris semua pemuda dan lelaki dewasa di kampung kami berjaga dari kemungkinan yang tak dikehendaki di rumah Daeng Manrawa, terutama dari serangan makhluk jejadian yang gemar mengincar orang sekarat, semisal parakang—manusia berilmu hitam yang diyakini orang-orang kampung bisa mempercepat proses kematian manusia lainnya.

Betapa aneh, di zaman canggih, orang masih begitu percaya pada mitos.

Aku mencoba mengurai kembali kenangan semasa kelas satu SMP itu. Malam itu, yang kelak aku sebut sebagai malam paling durjana, Tutu muncul dari arah belakang perkampungan. “Ada parakang, ada parakang.” Begitu teriaknya. Waktu serasa mendadak berhenti. Segera saja kami—seluruh lelaki yang sedang berjaga—menghambur ke arah Tutu.

“Di mana?”

“Tunjukkan!”

Ketika kami mulai merangsek dengan pertanyaan dan pandangan ke arahnya, Tutu tersungkur, mukanya pucat pasi.

“Tunggu sampai dia siuman,” kata seseorang.

“Kita gotong, Daeng, ayo!”

Beberapa lelaki dewasa menggotong tubuh Tutu, lalu membaringkannya di balla-balla—semacam rumah-rumahan di pintu gerbang. Perempuan-perempuan yang dari tadi tenang mengelilingi Daeng Manrawa, sekarang berdatangan merubungi Tutu. “Kabar apa yang dibawanya?” Begitu bisik-bisik yang samar kudengar. “Dia melihat parakang.” Jawab yang lain, juga dengan suara yang sangat pelan, seolah berbicara di depan jenazah. Lalu, Daeng Tinja, seorang sanro—dukun perempuan yang diakui kesaktiannya oleh seluruh warga kampong—memercikkan air dari sebuah tempurung ke ubun-ubun Tutu. Lalu, ajaib! Tutu membuka mata, dan berdesis, “Parakang, aku memukulnya tiga kali, tapi, tapi....”

“Tapi apa....”

“Dia tidak mati!”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun