Baiklah. Akan kuceritakan kepadamu kenapa aku begitu bernafsu menghabisi Tutu dan begitu menghasrati Lebang. Semua bermula ketika kami masih sama-sama remaja. Waktu itu, sepuluh tahun sebelum aku tuturkan kisah ini, bulan dengan kemilau cahaya keperakannya begitu sempurna menyepuh kampung kelahiran kami, Borongtammatea. Tapi, malam itu, sunyi menyungkupi kampung dengan hawa dingin yang menusuk-nusuk kulit. Benar-benar malam paling mencekam. Daeng Manrawa, sesepuh kampung yang sangat disegani, tergeletak tak berdaya di tempat tidur menunggu maut datang menjemput. Malam itu pula, nyaris semua pemuda dan lelaki dewasa di kampung kami berjaga dari kemungkinan yang tak dikehendaki di rumah Daeng Manrawa, terutama dari serangan makhluk jejadian yang gemar mengincar orang sekarat, semisal parakang—manusia berilmu hitam yang diyakini orang-orang kampung bisa mempercepat proses kematian manusia lainnya.
Betapa aneh, di zaman canggih, orang masih begitu percaya pada mitos.
Aku mencoba mengurai kembali kenangan semasa kelas satu SMP itu. Malam itu, yang kelak aku sebut sebagai malam paling durjana, Tutu muncul dari arah belakang perkampungan. “Ada parakang, ada parakang.” Begitu teriaknya. Waktu serasa mendadak berhenti. Segera saja kami—seluruh lelaki yang sedang berjaga—menghambur ke arah Tutu.
“Di mana?”
“Tunjukkan!”
Ketika kami mulai merangsek dengan pertanyaan dan pandangan ke arahnya, Tutu tersungkur, mukanya pucat pasi.
“Tunggu sampai dia siuman,” kata seseorang.
“Kita gotong, Daeng, ayo!”
Beberapa lelaki dewasa menggotong tubuh Tutu, lalu membaringkannya di balla-balla—semacam rumah-rumahan di pintu gerbang. Perempuan-perempuan yang dari tadi tenang mengelilingi Daeng Manrawa, sekarang berdatangan merubungi Tutu. “Kabar apa yang dibawanya?” Begitu bisik-bisik yang samar kudengar. “Dia melihat parakang.” Jawab yang lain, juga dengan suara yang sangat pelan, seolah berbicara di depan jenazah. Lalu, Daeng Tinja, seorang sanro—dukun perempuan yang diakui kesaktiannya oleh seluruh warga kampong—memercikkan air dari sebuah tempurung ke ubun-ubun Tutu. Lalu, ajaib! Tutu membuka mata, dan berdesis, “Parakang, aku memukulnya tiga kali, tapi, tapi....”
“Tapi apa....”
“Dia tidak mati!”