Tak kuhiraukan orang-orang yang panik atau takjub melihat anjing itu raib, tak juga aku pedulikan ratap menyayat dari rumah Daeng Manrawa. Aku segera bergegas pulang ke rumah dan mendapati Ibu sedang terbaring lemah di bawah selimut di kamarnya yang lembap, pengap, dan menguarkan aroma tak sedap. Di sudut kamar, Bapak mendekap matanya yang sembap dengan jemarinya yang bergeletar. Aku yakin Bapak baru saja menangis.
Ibu menatapku dengan sayu dan mengulurkan tangan ke arahku. Mari, Nak, Ibu ingin mendekapmu, begitu isyarat yang aku terima. Dan, belum lagi aku sempat merapat di dipan, Ibu berteriak dengan suara yang nyaris tak dapat telingaku menangkap suaranya dengan jelas. “Ambil, Nak, ambillah!” Begitu desis Ibu. Apa yang harus aku ambil, apa yang hendak Ibu berikan? Tapi semuanya terlanjur kasip, terlambat, Ibu sudah tiada. Dan, mata Bapak semakin sembap, semakin bengkak. Seperti Bapak, aku telah kehilangan, pikirku.
Sejak itu aku menganggap Tutu ialah muara tempat petaka ini berulu. Sejak itu pula persahabatan kami merenggang. Dan, aku ingin membunuhnya!
[5]
Tapi itu taklah mudah. Sejak lahir, Tutu mewarisi bakat tak terhingga dari kegemilangan masa lalu. Dia terlahir sungsang dengan kaki terjulur lebih dulu dan ari-ari terselempang membelit tubuh dan lehernya. Konon, itu pertanda dia memiliki banyak kekuatan gaib melihat segala hal yang musykil dan ganjil, termasuk parakang. Alhasil, dia disayang dan disanjung banyak orang. Sedangkan aku. Ah, aku bukan sesiapa. Selain anak tunggal yang kelak mewarisi kekayaan keluarga, dan ilmu yang sama sekali tak pernah hendak kuwarisi—parakang.
Namun, segala telah terjadi, aku harus menempa diri.
Aku melanglang buana demi dendam yang tak surut. Demi mendedah energi yang kerap dikisahkan Ibu, aku ziarah ke makam William Butler Yeats di Drumcliff, Irlandia. Demi aura magis yang kuharap merasuk ke jiwaku, aku sudah sambangi kastil yang dulu menjadi latar cerita Macbeth karya agung Shakespeare, Glamis Castle di Forfar, Skotlandia. Aku juga sengaja bertapa beberapa hari di Elo Progo, muara tempat dua sungai bersatu di dekat Candi Borobudur. Dan tak terbilang tempat lain yang telah kukunjungi. Konon, seperti pesan Bapak dan Ibu, aroma magis tempat-tempat itu akan menguatkan ilmuku.
Begitu kembali ke tanah kelahiran, Tutu semakin kuat, semakin tangguh. Aku tetap akan membunuhnya, seperti dulu dia sebabkan kematian Ibu. Malangnya, aku kalah duel satu lawan satu. Kembara selama berpuluh-puluh tahun, ternyata belumlah cukup untuk menaklukkan kekuatan Tutu.
[6]
Hanya ada satu cara untuk membunuh Tutu: Merebut Lebang. Dan, itulah yang kulakukan. Membawa lari perempuan cantik itu setelah menundukkan hatinya lewat mantra pengasih. Maka, di sinilah aku hari ini, di Makalehi—sebuah pulau di antara puluhan pulau terluar di Indonesia. Jauh dari Tutu, jauh dari kepahitan masa kecil karena kehilangan Ibu, jauh dari tatapan jijik orang-orang kampung tersebabkan satu tudingan: Keluargaku parakang.
Apa kabar, Tutu? Aku larikan nyawamu, Lebangmu! [*]