“Siapa?”
“Parakang.”
Parakang! Orang-orang saling berpandangan, saling bertanya, entah kepada siapa, atau malah kepada diri sendiri. Tutu terbangun. Dia mengibas-ibaskan kepalanya, butir-butir air di rambut, di dahi, dan di pelipisnya terpelanting. Matanya bercahaya, sekilap, lalu meredup.
“Ada parakang!” tegasnya.
“Di mana?” sergah Daeng Tinja.
“Di rumpun bambu di kebun Daeng Narang.”
Seperti digerakkan oleh tenaga mahadahsyat, orang-orang berlarian ke kebun Daeng Narang. Lelaki-perempuan, tua-muda, semua berlomba. Juga, aku. Hingga kami tiba di sisi kebun, di rumpun bambu, dan mendapati seekor anjing sedang terkaing-kaing, mendengking-dengking. Dan matanya, o, matanya itu meriapkan amarah seolah hendak menelan tubuh kami satu demi satu. Tuhan, aku kenal mata itu. Orang-orang mulai mengelilingi anjing itu, berdiri rapat, seakan tak hendak memberi sejengkal pun ruang bagi anjing sekarat itu untuk melarikan diri. Dan, mata anjing itu, o, mata anjing itu tajam menghujam ke mataku.
Aku terentak, terperenyak. Sungguh, aku kenal mata itu.
Lalu, dari arah rumah Daeng Manrawa, terdengar lolong perih yang menyayat hati. Seorang sepuh sudah mati. Dan, di hadapanku, seekor anjing—yang kukenali matanya itu—sedang sekarat. Lihatlah, lihat, orang-orang mulai beringas. Tangis dan ratap dari rumah Daeng Manrawa itulah penyebabnya, dan anjing—yang diyakini parakang itu—dituding pemicu kematiannya. Aku harus selamatkan anjing itu. Dan pelepah lontar di tanganku segera kusabetkan ke paha anjing itu. Oh, legenda yang selama ini kuyakini hanya dongeng pengantar tidur, sekarang menyata seperentang lengan saja di hadapanku. Orang-orang berteriak agar aku memukul anjing itu sekali lagi, agar tidak menghilang atau mati seketika, tapi semua sudah terlambat.
Anjing itu menghilang! Mata itu, o, mata yang tak asing itu ikut raib!
[4]