Pengaruh Pembangunan Berkelanjutan IKN terhadap Kesejahteraan dan Hak Masyarakat Adat
Influence of IKN's Sustainable Development on the Welfare and Rights of Indigenous Peoples
Khotimah Rohmawati (2350111074)
Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Jenderal Achmad Yani 2024 Jl. Terusan Jend. Sudirman, Cibeber, Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Jawa Barat 4053
Ide pemindahan ibu kota negara Indonesia bukanlah hal yang baru. Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, sudah ada usulan untuk menjadikan Kota Palangkaraya di Kalimantan Tengah sebagai ibu kota. Saat ini, Jakarta, yang merupakan ibu kota negara, tengah menghadapi ancaman terhadap keberlanjutannya setelah pernyataan Presiden Joko Widodo pada 16 Agustus 2019. Dalam pidatonya, Presiden mengungkapkan bahwa pemerintah sudah mendapatkan persetujuan dari Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) terkait pemindahan ibu kota, dan telah melalui kajian dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Presiden berharap pemindahan ibu kota dapat membawa pemerataan pembangunan serta keadilan ekonomi di seluruh pelosok Indonesia, sekaligus memperkenalkan Indonesia ke dunia internasional.
Pada 26 Agustus 2019, Presiden kembali mengumumkan bahwa lokasi ibu kota baru akan berada di Kalimantan Timur, tepatnya di Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara. Wilayah yang dipilih memiliki luas 256.142 hektar, dengan pusat pemerintahan (KIPP) direncanakan akan dibangun di area seluas 6.671 hektar di Kecamatan Sepaku. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat juga ikut berpartisipasi dalam penyelenggaraan sayembara desain ibu kota pada Oktober 2019. Pada 15 Februari 2022, terbit Undang-Undang No. 3 Tahun 2022 yang mengatur pemindahan ibu kota negara, yang juga mencakup tahapan pembangunan pertama Ibu Kota Nusantara (IKN) antara tahun 2022 hingga 2024. Nama "Nusantara" dipilih dari lebih 80 opsi yang diajukan, meskipun ada pihak yang menyatakan bahwa penggunaan nama tersebut mencerminkan dominasi budaya Jawa, karena berasal dari kerajaan Majapahit.
Pemindahan ibu kota ke Kalimantan didasari oleh pertimbangan ekologis dan ekonomi. Jakarta dianggap tidak lagi mampu menanggung beban ekologis yang berat, seperti banjir, polusi udara, dan kemacetan yang berdampak pada produktivitas pemerintahan. Pemindahan ini diharapkan menjadi langkah strategis bagi Indonesia untuk menghadapai tantangan masa depan dan mewujudkan cita-cita menjadi salah satu dari lima ekonomi terbesar dunia pada tahun 2045, dengan fokus pada transformasi ekonomi dan pemerataan yang lebih baik di Indonesia, khususnya di bagian timur yang sebelumnya kurang berkembang.
Namun, meskipun rencana besar ini telah diumumkan, protes dan kekhawatiran datang dari berbagai kalangan, terutama masyarakat lokal di Kalimantan Timur, yang mayoritas adalah masyarakat adat. Kekhawatiran ini timbul karena mereka merasa hak-hak mereka tidak dilindungi secara hukum dalam proses pembangunan ini. Tanpa adanya regulasi yang jelas untuk melindungi hak-hak adat, proyek besar ini justru menambah ketidakpastian bagi mereka
Selain itu, pembangunan IKN ini mencakup kawasan yang sebelumnya merupakan hutan lindung, dan penentuan batas wilayah dilakukan tanpa konsultasi dengan masyarakat adat setempat. Pembangunan ibu kota baru ini seharusnya tidak mengabaikan hak-hak dan budaya masyarakat adat, yang harus dilindungi oleh hukum, sesuai dengan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, yang mengakui dan menghormati eksistensi masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya, sepanjang masih relevan dengan perkembangan zaman dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Â
Dampak Pemindahan Ibu Kota Negara Terhadap Masyarakat Adat