Mohon tunggu...
khotimahr
khotimahr Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIP UNJANI

i am a 3rd semester student in the field of government science at University Jenderal Achmad Yani . During college I actively participated in organizations and was responsible for events division. Regarding study program I am currently undertaking, I am interested in learning to analyze organizational and leadership problems and i have the ability to be sensitive to political issues by applying good communication

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pengaruh Pembangunan Berkelanjutan IKN terhadap Kesejahteraan dan Hak Masyarakat Adat

26 Januari 2025   18:30 Diperbarui: 26 Januari 2025   18:40 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Dinamika sosial dan budaya diperkirakan akan menjadi fokus utama dalam wacana pemindahan ibu kota, dengan banyak pihak di Kalimantan Tengah yang memandang bahwa pemindahan tersebut akan membawa perubahan besar pada struktur masyarakat, pola hidup, dan interaksi sosial di daerah ini. Pandangan ini menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Sebagian pihak khawatir bahwa Palangkaraya akan menjadi kota besar seperti Jakarta, yang dapat memengaruhi kestabilan sosial dan budaya di Kalimantan Tengah. Isu sosial dan budaya menjadi hal yang sangat penting dalam pembangunan, karena dengan bertambahnya jumlah penduduk, interaksi sosial di masyarakat akan semakin kompleks.

Adapun permasalahan signifikan ketika permindahan ibu kota ini yaitu permasalahan agrarian (tanah) hak tanah milik lokal yang berkonflik dengan perusahaan dan sektor pemerintah dengan contoh kasus sebagai berikut. Menurut Wartiharjono (2017:88), Suku Paser mengalami sengketa lahan dengan pemerintah dan perusahaan perkebunan besar, yang merampas tanah mereka untuk pembangunan perkebunan. Meskipun masyarakat lokal sempat melakukan perlawanan, mereka akhirnya menerima kenyataan bahwa lahan dan sumber penghidupan mereka hilang. Di masa Orde Baru, masyarakat tidak bisa mengalahkan pemerintah. Setelah reformasi, masyarakat lokal melakukan aksi untuk menuntut pengembalian lahan, yang berhasil mengembalikan sebagian tanah mereka. Namun, masalah pengembalian lahan ini masih belum selesai hingga kini.

Oleh karena itu, pemerintah harus memastikan hak-hak masyarakat adat tidak terabaikan dalam proses ini. Pemerintah tidak boleh hanya berfokus pada kepentingan umum demi terwujudnya ibu kota baru, tanpa memperhatikan keberlangsungan sosial dan budaya masyarakat setempat. Baik pemerintah pusat maupun daerah perlu memperkuat pembinaan kebangsaan, karena dinamika sosial seperti konflik yang disebabkan oleh masalah sosial, politik, dan ekonomi merupakan bagian alami dalam kehidupan masyarakat. Beberapa konflik yang terjadi di Kalimantan Tengah sebelumnya telah memberikan pelajaran penting mengenai pentingnya pembinaan kehidupan sosial yang majemuk, di mana masyarakat kini semakin menyadari bahwa masalah harus diselesaikan melalui dialog yang konstruktif, serta menghindari prasangka buruk terhadap kelompok lain.

Perlindungan Masyarakat Adat

      Dalam konstitusi, hak-hak tradisional masyarakat hukum adat diatur dalam Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa "Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang." Berdasarkan rumusan pasal tersebut, dapat dijelaskan bahwa:

  • Negara mengakui eksistensi masyarakat hukum adat yang sudah ada sebelum berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia dan disahkannya UUD 1945;
  • Masyarakat hukum adat yang diakui harus terbukti masih ada;
  • Pengakuan tersebut dapat berkembang seiring dengan perubahan zaman, di mana nilai-nilai kemanusiaan dan tingkat peradaban berkembang, sehingga pengakuan terhadap masyarakat hukum adat harus disesuaikan dengan kebutuhan yang dinamis dari ruang dan waktu;
  • Prosedur pengakuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya harus diatur dengan undang-undang atau peraturan terkait lainnya. Secara teoritis, masyarakat hukum adat diakui sebagai warga negara yang berhak mendapatkan perlindungan dan kepastian hukum, tetapi dalam kenyataannya, status sosial dan ekonomi mereka seringkali termarjinalkan.

     

      Oleh karena itu, untuk memperkuat perlindungan terhadap mereka, diperlukan tindakan afirmatif. Hak-hak konstitusional bagi masyarakat adat dalam UUD 1945 harus diperjuangkan, meskipun seringkali dipertentangkan dengan undang-undang sektoral yang ada. Hak-hak tradisional masyarakat hukum adat di Indonesia dijamin oleh berbagai peraturan perundang-undangan, seperti hak pengelolaan hutan (UU No. 41 Tahun 1999), hak pengelolaan ladang atau perkebunan (UU No. 18 Tahun 2004), perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (Pasal 63 ayat (1), (2), dan (3)), dan pengelolaan wilayah pesisir (Pasal 61 ayat (1) UU No. 27 Tahun 2007). Namun, implementasi pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat hukum adat menurut Pasal 18B ayat (2) masih sangat sulit, terutama karena sebagian elit Orde Baru yang masih berkuasa di MPR saat itu ingin mempertahankan sistem pemerintahan yang sentralistik. Mereka tidak sepenuhnya mendukung amandemen yang berkaitan dengan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat.

      Hal ini menimbulkan ketidakjelasan atau ambivalensi dalam rumusan pasal tersebut. Setidaknya ada empat desa komunitas adat Dayak Paser di wilayah yang dipilih oleh Presiden Joko Widodo untuk menjadi pusat pemerintahan baru. Selain itu, terdapat 13 wilayah adat di sekitar ibu kota baru yang terletak di Kecamatan Sepaku, PPU, dan Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara, sesuai dengan pemetaan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara. Pembangunan ibu kota baru ini tidak jauh berbeda dengan konversi hutan untuk perkebunan kelapa sawit dan pengolahan kayu, yang berpotensi membuat masyarakat hukum adat kehilangan hutan yang menjadi sumber kehidupan mereka, baik untuk pangan, tempat tinggal, maupun untuk upacara adat. Sejak bertahun-tahun, terjadi sengketa lahan di perkampungan adat mereka akibat klaim tanah, transmigrasi, dan perkebunan sawit.

      Tanah yang mereka miliki secara turun-temurun semakin sempit dan terancam oleh desa transmigrasi serta lahan yang berstatus hak guna usaha (HGU). Fakta ini menunjukkan bahwa Pasal 18B ayat (2) belum sepenuhnya diimplementasikan, karena Mahkamah Konstitusi (MK) tidak pernah mengabulkan usulan dari masyarakat hukum adat, mengingat mereka belum diakui sebagai pihak yang memiliki legal standing yang sah. Empat persyaratan dalam pasal tersebut, yaitu masih hidup, sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta diatur dalam undang-undang, menjadi hambatan besar bagi masyarakat hukum adat untuk memperoleh legal standing dan hak-hak tradisionalnya. Jaminan atas hak-hak tersebut sangat sulit diimplementasikan, dan hak cipta yang dimiliki masyarakat hukum adat rentan untuk diklaim oleh pihak lain, termasuk oleh pihak asing, karena belum adanya peraturan operasional yang jelas.


DAFTAR PUSTAKA

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun