Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL) tidak lagi diperlukan sebagai bagian dari proses pengambilan keputusan izin penyelenggaraan usaha, seperti tertera dalam pasal 1 angka 22.
Pasal 1 angka 35 tentang kewajiban industri mendapatkan izin lingkungan dihapus dan diubah menjadi persetujuan lingkungan.
Sembilan kriteria usaha yang berdampak penting dihapus (pasal 1 angka 35).
Dalam perubahan pasal 24, selain menunjuk lembaga dan/atau ahli bersertifikat, pemerintah bisa melakukan sendiri uji kelayakan lingkungan hidup, yang didasarkan pada dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), untuk menentukan kelayakan lingkungan hidup dalam penerbitan izin berusaha.
Dalam penyusunan Amdal, masyarakat yang diizinkan terlibat dalam penyusunannya hanya mereka yang terdampak. Tak ada lagi pemerhati lingkungan hidup dan/atau masyarakat yang terpengaruh, seperti bunyi pasal 26 sebelum diubah.
Menghapus pasal 29, 30, 31 mengenai Komisi Penilai Amdal. Untuk kegiatan yang wajib memenuhi standar UKL-UPL, pemerintah pusat langsung menerbitkan Perizinan Berusaha ketika sudah ada pernyataan kesanggupan korporasi mengelola lingkungan hidup.
Tak ada lagi penegasan bahwa kelayakan lingkungan hidup harus diakses dengan mudah oleh masyarakat seperti pasal 39 UUPPLH.
Pengawasan dan sanksi administratif seluruhnya dijalankan oleh pemerintah pusat, seperti perubahan Bab XII pasal 72 hingga 75.
Jenis-jenis sanksi administratif ditiadakan dengan mengubah pasal 76. Delegasi kepada peraturan pemerintah hanya akan berisi tata cara pengenaan sanksi tersebut.
Tak ada celah atau pintu masuk bagi warga negara menggugat lembaga lain yang merusak lingkungan seperti tercantum dalam pasal 93 UUPPLH, sebagai konsekuensi dihapusnya izin lingkungan.
Secara keseluruhan, setidaknya ada tiga hal  yang berpotensi melemahkan pengaturan lingkungan hidup ke depan: