Pak Kasmo, begitu biasa dia disapa. Tetanggaku ini pensiunan pegawai pemerintah. Sudah 5 tahun dia pensiun. Tak banyak yang dia kerjakan karena anak-anaknya sudah memiliki kehidupan sendiri di luar kota. Sementara, istri Pak Kasmo sudah lama meninggal dunia.
Di pagi hari, dia sering jalan sendiri ke ujung gang kami. Di ujung gang, Â dia hanya melihat orang-orang berangkat kerja ke kantor, berangkat ke sawah, anak-anak berangkat sekolah. Sesekali dari orang yang lalu lalang itu dia kenal, Pak Kasmo memanggilnya.
Lima tahun, dia sering menghabiskan pagi di ujung gang. Kemudian, sekitar jam 08.30 ketika jalanan sudah tidak terlalu ramai dengan lalu lalang orang berangkat beraktivitas, Pak Kasmo pergi ke warung Sri yang ada di gang lain tak jauh dari gang kami.
Jam segitu memang tak banyak yang makan di warung Sri, maklum itu jam nanggung karena sudah tak terlalu pagi dan belum bisa dikatakan siang. Nah, di waktu warung sepi itu, Pak Kasmo kadang sering bercanda dengan Sri. Keduanya kadang tertawa terpingkal-pingkal. Klop memang keduanya karena Pak Kasmo duda, Sri janda. Kadang Pak Kasmo juga colek-colek Sri untuk meminta tambahan sambal. Hmmm, Pak Kasmo memang tua-tua keladi.
Mungkin hari-hari bahagia bercanda dengan Sri itulah yang membuat Pak Kasmo masih segar bugar. Kondisi Pak Kasmo berbeda jauh dengan beberapa teman pensiunnya yang tak bisa keluar rumah. Ada yang kena gula dan sudah tak bisa jalan. Ada yang kena stroke. Ada juga yang pikun setiap hari hanya ingin berangkat kerja, tapi berdiri saja sudah tak bisa.
Setelah dari warung Sri, Pak Kasmo pulang melihat televisi. Siangnya dia tidur dan sorenya dia ke rumahku. Aku pulang kerja jam 4 sore. Sekitar jam setengah lima, Pak Kasmo sering nongkrong di depan rumahku. Kami sering bicara sekenanya di teras rumah. Jam segitu, dua anakku sedang di masjid untuk mengaji. Sementara istriku biasa di dapur.
"Remuk semua Pur," kata Pak Kasmo  padaku dengan wajah serius.
"Siapa yang remuk? Sri, pak?" kataku.
Pak Kasmo spontan malu-malu kucing sembari menahan tawa. Tapi kemudian wajahnya serius lagi. "Ngga lah... Sri ya buat selingan Pur. Hidup kalau tidak ada selingan, tak ada variasi," ujar Pak Kasmo.
"Remuk semua orang-orang sekarang Pur. Aku kan pensiunan Pur. Masa ngurus data-data keluarga kok ditarik biaya. Itu kan ilegal Pur," ujarnya. Aku tak sempat menyela karena Pak Kasmo berbicara seperti jalannya kereta, tanpa ban bocor, tanpa lampu merah.
"Tiga hari lalu, aku beli spring bed setelah dikirimi Tutik (anak pertama Pak Kasmo yang hidup di Jakarta). Yang jual bilang bahwa spring bed bakal dikirim sampai rumah tanpa biaya. Biayanya sudah masuk dalam harga spring bed. Spring bed kemudian dikirim dengan mobil bak terbuka. Sampai rumahku. Eh sopirnya terang-terangan bilang, 'Pak uang rokok'. Sembari bilang, 'ini spring bed di teras ya pak'," kata Pak Kasmo.
"Itu kan jelas kode memaksaku memberinya uang. Kamu pikir saja orang tua seperti aku disuruh angkat-angkat spring bed..."
Aku sela saja pernyataan Pak Kasmo. " Kalau disuruh ngangkat Sri mau pak?"
Pak Kasmo cekikikan lalu menyeruput kopi hitam yang sudah dihidangkan istriku. Setelah menyeruput kopi hitam, bibir bagian atas Pak Kasmo penuh dengan ampas kopi. "Jangan gitu lah Pur. Ini kan serius," ujar Pak Kasmo.
Dia melanjutkan cerita soal spring bed. "Setelah kasih duit, dia ngangkat spring bed sampai kamarku. Receh banget itu orang... Bosnya bilang gratis, eh dia minta duit. Dasar penjual pelicin," kata Pak Kasmo.
"Kemarin Rudi (anak Pak Kasmo keempat yang jadi pemain sepak bola profesional) cerita soal kariernya. Dia itu sudah hebat lho Pur, bisa jadi pemain sepak bola profesional. Tapi yang kurang ajar itu pelatihnya. Jadi, Rudi itu tak pernah dimainkan. Rudi bilang bahwa 80 persen pemain yang dimainkan adalah mereka yang mau memberi duit pada pelatihnya. Istilahnya pelicin. Wah ngawur semua Pur. Remuk. Rudi belum bisa memberi uang pelicin karena dia kan pemain baru yang gajinya saja masih kecil," ujarnya.
"Tomo (Utomo anak kedua Pak Kasmo), bilang bahwa dia mau ketemu orang berpengaruh di negeri ini. Aku ngga tahu itu orang berpengaruh itu siapa. Nah, kalau ketemu  harus ada perantaranya. Perantara ya orang yang menjembatani Tomo dengan orang berpengaruh itu. Kamu tahu ngga Pur, Tomo ditarik duit 2 juta. Catat Pur, hanya jadi perantara pertemuan, minta pelicin 2 juta. Itu kan keterlaluan Pur," ujar Pak Kasmo.
Dari empat anak Pak Kasmo, memang hanya tiga yang sering dia ceritakan padaku. Sementara, Utami anak ketiga Pak Kasmo tak pernah diceritakan. Kabarnya, Utami sudah di Suriah, ikut ISIS. Aku sendiri jarang tanya soal Utami. Ya karena memang aku juga tak tertarik membahas seperti itu.
"Dua hari lalu, aku juga minta bantuan Dalban itu (Dalban tetangga kami, tapi itu nama panggilan. Nama aslinya adalah Dalimin). Minta supaya membersihkan sumur. Aku sudah kasih duit macam-macam. Eh saat membersihkan sumur dia bilang bahwa agak kesulitan. Dia bilang gini, 'sajennya kurang ini pasti'," kata Pak Kasmo.
Sajen itu seperti sesembahan yang ada di masyarakat dulu yang ada dupanya. Nah sajen itu oleh sebagian orang dimaknai sebagai uang. "Itu kan Dalban berarti mau minta uang lagi. Sudah dikasih duit, masih minta lagi, dasar mendoan bosok," kata Pak Kasmo mengumpat.
Pak Kasmo mulai kelelahan. Aku pun menyela. "Semua cerita itu bukan hal baru pak. Sudah ada sejak dulu. Aku masih ingat, 15 tahun lalu ketika Didi (adikku) mau penelitian untuk kepentingan skripsinya, dia butuh data. Bagian pemerintah yang membawa data itu susahnya bukan main dimintai data. Padahal itu kan data yang bisa diakses orang awam. Yang membawa data itu lambatnya seperti keong kalau kerja. Kata temannya, dia minta dikasih duit. Setelah aku kasih duit, ngga ada semenit data itu diserahkan padaku," ujarku.
"Sarmidi (tetangga kami), pernah satu ketika jadi panitia Agustusan kan Pak, yaitu jadi bendahara. Tapi kan sebagian uangnya ditilep sama RT-nya," ujarku. Pernyataanku tentang Sarmidi itu langsung membuat wajah Pak Kasmo merah padam. Dia mulai tahu arah pembicaraanku bahwa dialah yang aku ceritakan.
"Kamu yang benar saja Pur kalau bicara. Itu semua fitnah,"kata Pak Kasmo keras sekali. Sembari berdiri dia mengambil cangkir yang terisa kopinya. Dia muntahkan kopi itu ke mukaku. Dia berlalu pergi tanpa pamit.
Aku tak mau ambil pusing. Aku nilai itu hiburan saja. Toh besok Pak Kasmo pasti ke rumahku lagi. Sebab, mau main ke rumah siapa lagi? Para tetangga sudah jengah dengannya karena kebiasaannya dulu meminta uang pelicin untuk segala urusan. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H