"Itu kan jelas kode memaksaku memberinya uang. Kamu pikir saja orang tua seperti aku disuruh angkat-angkat spring bed..."
Aku sela saja pernyataan Pak Kasmo. " Kalau disuruh ngangkat Sri mau pak?"
Pak Kasmo cekikikan lalu menyeruput kopi hitam yang sudah dihidangkan istriku. Setelah menyeruput kopi hitam, bibir bagian atas Pak Kasmo penuh dengan ampas kopi. "Jangan gitu lah Pur. Ini kan serius," ujar Pak Kasmo.
Dia melanjutkan cerita soal spring bed. "Setelah kasih duit, dia ngangkat spring bed sampai kamarku. Receh banget itu orang... Bosnya bilang gratis, eh dia minta duit. Dasar penjual pelicin," kata Pak Kasmo.
"Kemarin Rudi (anak Pak Kasmo keempat yang jadi pemain sepak bola profesional) cerita soal kariernya. Dia itu sudah hebat lho Pur, bisa jadi pemain sepak bola profesional. Tapi yang kurang ajar itu pelatihnya. Jadi, Rudi itu tak pernah dimainkan. Rudi bilang bahwa 80 persen pemain yang dimainkan adalah mereka yang mau memberi duit pada pelatihnya. Istilahnya pelicin. Wah ngawur semua Pur. Remuk. Rudi belum bisa memberi uang pelicin karena dia kan pemain baru yang gajinya saja masih kecil," ujarnya.
"Tomo (Utomo anak kedua Pak Kasmo), bilang bahwa dia mau ketemu orang berpengaruh di negeri ini. Aku ngga tahu itu orang berpengaruh itu siapa. Nah, kalau ketemu  harus ada perantaranya. Perantara ya orang yang menjembatani Tomo dengan orang berpengaruh itu. Kamu tahu ngga Pur, Tomo ditarik duit 2 juta. Catat Pur, hanya jadi perantara pertemuan, minta pelicin 2 juta. Itu kan keterlaluan Pur," ujar Pak Kasmo.
Dari empat anak Pak Kasmo, memang hanya tiga yang sering dia ceritakan padaku. Sementara, Utami anak ketiga Pak Kasmo tak pernah diceritakan. Kabarnya, Utami sudah di Suriah, ikut ISIS. Aku sendiri jarang tanya soal Utami. Ya karena memang aku juga tak tertarik membahas seperti itu.
"Dua hari lalu, aku juga minta bantuan Dalban itu (Dalban tetangga kami, tapi itu nama panggilan. Nama aslinya adalah Dalimin). Minta supaya membersihkan sumur. Aku sudah kasih duit macam-macam. Eh saat membersihkan sumur dia bilang bahwa agak kesulitan. Dia bilang gini, 'sajennya kurang ini pasti'," kata Pak Kasmo.
Sajen itu seperti sesembahan yang ada di masyarakat dulu yang ada dupanya. Nah sajen itu oleh sebagian orang dimaknai sebagai uang. "Itu kan Dalban berarti mau minta uang lagi. Sudah dikasih duit, masih minta lagi, dasar mendoan bosok," kata Pak Kasmo mengumpat.
Pak Kasmo mulai kelelahan. Aku pun menyela. "Semua cerita itu bukan hal baru pak. Sudah ada sejak dulu. Aku masih ingat, 15 tahun lalu ketika Didi (adikku) mau penelitian untuk kepentingan skripsinya, dia butuh data. Bagian pemerintah yang membawa data itu susahnya bukan main dimintai data. Padahal itu kan data yang bisa diakses orang awam. Yang membawa data itu lambatnya seperti keong kalau kerja. Kata temannya, dia minta dikasih duit. Setelah aku kasih duit, ngga ada semenit data itu diserahkan padaku," ujarku.
"Sarmidi (tetangga kami), pernah satu ketika jadi panitia Agustusan kan Pak, yaitu jadi bendahara. Tapi kan sebagian uangnya ditilep sama RT-nya," ujarku. Pernyataanku tentang Sarmidi itu langsung membuat wajah Pak Kasmo merah padam. Dia mulai tahu arah pembicaraanku bahwa dialah yang aku ceritakan.