Mohon tunggu...
M. Kholilur Rohman
M. Kholilur Rohman Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Pegiat literasi yang berasal dari Kota Sumenep sekaligus Murabbi Ma'had Sunan Ampel Al-Aly (MSAA) UIN Malang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Penjual Kisah-Kisah Bahagia

24 Agustus 2024   08:00 Diperbarui: 24 Agustus 2024   08:12 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 sumber gambar: Mojok.co

Aku menemukannya di pinggir jalan Kota, di depan Hotel bintang lima yang tak pernah surut pengunjung. Wajahnya yang periang membuat siapa saja yang pertama kali melihatnya, langsung jatuh hati. Termasuk aku. Bukan karena wajahnya yang tampan atau kulitnya yang kuning langsat, tapi dari keteduhan tatapannya yang menenangkan.

Aku yang baru saja pulang kerja langsung menghampirinya. Duduk diantara dua orang perempuan yang tampak baru selesai menangis. Entahlah, sepertinya tidak baik terlalu banyak mencampuri urusan orang lain. Dan, persis saat aku duduk di hadapannya, ia mengulurkan tangan sambil menyebutkan nama dengan nada yang sopan.

"Nama saya Anas," katanya dengan deretan gigi yang tampak dari senyumannya.

"Aku Fahmi," jawabku dengan senyum yang tak kalah ramah.

Perkenalan singkat selesai.

Aku yang sebenarnya Tk paham apa yang sedang mereka lakukan, memilih diam. Sampai akhirnya salah satu perempuan itu mengucapkan sesuatu.

"Berarti masih ada kesempatan untuk saya bertobat dan masuk ke surga-NYA?" Tanya perempuan berambut pirang di sebelah kananku.

"Masih ada. Karena Allah maha pengampun, lagi maha pengasih dan penyayang. Asalkan anda benar-benar bertobat dan tidak mengulangi lagi dosa yang telah lalu.

"Kalau saya bagaimana?" Tanya perempuan yang satunya.

"Sama, meski kalau dipikir dosamu lebih berat dibanding temanmu ini," jawabnya santai.

Kemudian Anas bercerita tentang bagaimana indahnya surga di alam akhirat sana. Bahwa setiap permintaan pasti akan terkabul. Bahwa tidak pernah ada kenikmatan dunia yang hampir mirip dengan surga. Jangankan itu, setiap kenikmatan yang ada di surga, tidak pernah terlintas dalam benak siapa pun.

Waktu itu, aku masih belum mengerti dengan apa yang sebenarnya mereka bahas. Sepertinya sudah ada percakapan yang mereka lakukan sebelum aku sampai di sini. Tapi biarlah, aku memilih menikmati alur pembahasan kali ini. Anehnya, Anas sama sekali tidak mengindahkan keberadaanku. Sampai pada sore menjelang malam, aku berhasil mengantongi banyak tawa dari kisah-kisah yang disampaikan Anas. Kisah yang entah ia dari mana.

Besok harinya, selepas pulang kerja, aku sudah berencana untuk kembali menemui Anas. Sudah kusiapkan satu pertanyaan yang sampai saat ini belum terjawab oleh diriku sendiri. Ya, ini masalah keluargaku yang sedang dalam tahap tidak baik-baik saja. Bagaimana tidak, aku dan Andini (istriku) sudah jarang berkomunikasi. Kehidupan rumah tangga hanya sebatas melaksanakan kewajiban. Aku sebagai seorang suami, dan dia sebagai istri. Selebihnya, sudah tidak cinta di antara kami yang sempat berkobar di malam pertama.

Namun sayang, aku tidak menemukan Anas di tempatnya kemarin. Ia menghilang entah ke mana. Kupikir ia akan selalu berada di situ pada waktu yang sama. Ternyata tidak. Dugaanku salah.

Aku mencari pemuda itu ke beberapa sudut Kota. Di mana beragam kesibukan silih berganti tiada henti. Mulai dari kampus-kampus ternama, tempat kesenian, pondok pesantren, sampai pada tempat ibadah dari berbagai agama. Tapi sayang, semua pencarianku nihil. Tidak ada artinya.

***

Jam lima sore, aku sampai di rumah. Dan seperti hari kemarin, rumah dalam keadaan sepi. Andini sering keluar rumah tanpa pamit. Alasannya kalau tidak mencari angin segar, ada rapat di kantor, dan beragam alasan lainnya. Sungguh, waktu itu aku merasa bersalah karena telah mengkhianati cinta tulus Andini. Entah sebesar apa rasa sakit yang ditanggung hati Andini sampai saat ini.

Aku melangkah lesu ke arah sofa. Tidak ada suara sedikit pun. Kecuali desir angin yang kadang menggeser kertas dari atas meja, menerbangkan dedaunan, masuk melalui celah-celah jendela, dan kadang kucing yang datang dan pergi entah dari mana.

Sejenak, aku duduk di ruang tengah. Di sini adalah tempat di mana dulu aku dan Andini banyak bertukar cerita. Banyak melewati masa-masa kebersamaan dengan cinta dan kasih sayang. Sebelum semuanya berubah menjadi sangat sepi. Seperti saat ini.

Setelah beristirahat di sofa ruang tengah, tiba-tiba saja perasaanku tidak enak. Suasana rumah yang sepi, membawaku pada sebuah firasat buruk. Aku pun bangkit. Melihat seluruh sisi rumah. Beberapa lampu ruangan dalam keadaan mati, sebagian yang lain hidup.

Aku berjalan layaknya maling kelas kakap. Pelan dan terukur. Tatapanku terus memantau segala arah dari berbagai kemungkinan yang akan terjadi. Ruangan pertama yang kumasuki adalah dapur. Setelah lampu dinyalakan, tidak ada yang mencurigakan di sana. Aku langsung menuju ruangan selanjutnya. Kamar mandi. Dan, saat pintu dibuka, lagi-lagi tidak ada apa-apa di sana.

Sejenak aku menahan langkah. Pedengaranku seperti menangkap sesuatu. Terdengar suara samar dari ruangan sebelah. Suara yang sepertinya tidak asing. Suara yang dulu pernah kudengar saat cinta masih tumbuh subur antara aku dan Andini. Sebelum aku tertangkap basah berduaan dengan perempuan lain di sebuah hotel.

Aku kembali melangkah. Mengendap-endap menuju kamar Andini. Ya, suara itu semakin jelas terdengar. Sampai aku melihat pintu kamar Andini yang sedikit terbuka, kudengar suara itu semakin jelas, dan kecurigaanku memuncak, aku langsung membuka kamar itu. Dan apa yang terjadi di dalam sana? Andini, istri yang sangat kucintai, sedang berhubungan badan dengan laki-laki lain.

"Woyy bangsat. Keluar!" Teriakku.

Spontan keributan terjadi. Andini dan laki-laki itu terkejut dan langsung berdiri. Persis seperti seorang maling yang ketahuan sang pemilik rumah. Tapi memang benar, sekarang aku sedang kemalingan istri. Entah sejak kapan mereka berada di sini.

Aku naik darah. Emosiku mencapai ubun-ubun. Dan seluruh tubuh ini terasa panas atas apa yang baru saja kulihat. Sungguh, tidak ada yang lebih sakit dan memicu marah kecuali pertunjukkan seks seorang istri dengan laki-laki lain. Mungkin, hal begini juga yang dulu dirasakan oleh Andini.

"Ngapain Mas masih ngatur-ngatur aku? Kita sudah nggak ada hubungan lagi, Mas!" Bentak Andini.

"Tapi kamu masih istriku, Din!"

"Sudah lah, Mas. Simpan basa-basimu itu. Aku sudah terlanjur sakit dengan apa yang sudah kamu lakukan!

"Tapi tidak dengan cara seperti ini juga, Andini," aku menurunkan intonasi suara.

Sedangkan laki-laki itu hanya menatap pertengkaranku dengan Andini. Ia tampak mati langkah dan bingung mau melakukan apa.

"Terserah. Intinya aku minta cerai!" Tegas Andini yang kemudian langsung pergi diikuti laki-laki itu.

Aku mematung bersama rasa sakit yang menggerogoti isi hati dan pikiranku. Mungkin seperti ini juga yang dirasakan oleh Andini saat aku diketahui berselingkuh di belakangnya. Atau bahkan rasa sakit yang dirasakan oleh Andini lebih perih dibanding ini.

***

Aku beranjak dari kasur. Memakai baju dan celana, menaruh amplop putih di atas meja, kemudian meninggalkan perempuan bayaran yang telah menemaniku semalam. Tampak ia sangat kelelahan setelah meladeni sikap kelelakianku yang meronta-ronta.

Saat keluar dari hotel, aku berusaha untuk bersikap setenang mungkin. Meski nyatanya aku tidak bisa seperti itu. Selalu ada rasa bersalah. Selalu ada rasa khawatir. Dan selalu ada rasa takut.

Sampai di pinggir jalan, aku menemukan pemuda itu lagi. Kali ini tidak ada siapa pun yang menemaninya. Aku pun menghampirinya dan memintanya untuk bercerita tentang kisah-kisah bahagia. Kisah-kisah yang bisa memaafkan banyak kesalahan dan membawa siapa saja menuju bahagia. Termasuk aku.

Pemuda itu kemudian bercerita panjang lebar. Bahwa segala kesalahan akan dimaafkan. Bahwa kebahagiaan mutlak milik siapa saja. Dan, Tuhan selalu mempunyai banyak cara untuk memberikan hidayah pada semua hambanya.

"Tapi ada satu perbuatan yang selamanya tidak akan pernah mendapatkan maaf dan kebahagiaan," ujar pemuda itu secara tiba-tiba.

"Apa itu?" Tanyaku cepat.

"Kesalahan yang diulang-ulang secara sengaja, seolah-olah itu adalah hal lumrah dan bukan sebuah kesalahan," jawabnya cepat.

Mendengar jawaban itu, aku langsung terdiam. Pikiranku melayang pada beberapa bulan lalu. Saat aku berselingkuh dengan perempuan lain di hotel, saat Andini membalas perbuatanku dengan membawa laki-laki lain ke kamarnya, dan tentu saja apa yang baru saja kulakukan sebelum keluar dari hotel yang sama***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun