Aku mematung bersama rasa sakit yang menggerogoti isi hati dan pikiranku. Mungkin seperti ini juga yang dirasakan oleh Andini saat aku diketahui berselingkuh di belakangnya. Atau bahkan rasa sakit yang dirasakan oleh Andini lebih perih dibanding ini.
***
Aku beranjak dari kasur. Memakai baju dan celana, menaruh amplop putih di atas meja, kemudian meninggalkan perempuan bayaran yang telah menemaniku semalam. Tampak ia sangat kelelahan setelah meladeni sikap kelelakianku yang meronta-ronta.
Saat keluar dari hotel, aku berusaha untuk bersikap setenang mungkin. Meski nyatanya aku tidak bisa seperti itu. Selalu ada rasa bersalah. Selalu ada rasa khawatir. Dan selalu ada rasa takut.
Sampai di pinggir jalan, aku menemukan pemuda itu lagi. Kali ini tidak ada siapa pun yang menemaninya. Aku pun menghampirinya dan memintanya untuk bercerita tentang kisah-kisah bahagia. Kisah-kisah yang bisa memaafkan banyak kesalahan dan membawa siapa saja menuju bahagia. Termasuk aku.
Pemuda itu kemudian bercerita panjang lebar. Bahwa segala kesalahan akan dimaafkan. Bahwa kebahagiaan mutlak milik siapa saja. Dan, Tuhan selalu mempunyai banyak cara untuk memberikan hidayah pada semua hambanya.
"Tapi ada satu perbuatan yang selamanya tidak akan pernah mendapatkan maaf dan kebahagiaan," ujar pemuda itu secara tiba-tiba.
"Apa itu?" Tanyaku cepat.
"Kesalahan yang diulang-ulang secara sengaja, seolah-olah itu adalah hal lumrah dan bukan sebuah kesalahan," jawabnya cepat.
Mendengar jawaban itu, aku langsung terdiam. Pikiranku melayang pada beberapa bulan lalu. Saat aku berselingkuh dengan perempuan lain di hotel, saat Andini membalas perbuatanku dengan membawa laki-laki lain ke kamarnya, dan tentu saja apa yang baru saja kulakukan sebelum keluar dari hotel yang sama***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H