Mohon tunggu...
M. Kholilur Rohman
M. Kholilur Rohman Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Pegiat literasi yang berasal dari Kota Sumenep sekaligus Murabbi Ma'had Sunan Ampel Al-Aly (MSAA) UIN Malang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pencuri Kenangan yang Tertangkap di Sebuah Kafe pada Malam Hari

22 Agustus 2024   07:30 Diperbarui: 22 Agustus 2024   07:32 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: Totabuan.co

Setiap orang mempunyai kenanganya sendiri. Merupa baik atau buruk, intinya kenangan akan senantiasa abadi dalam ingatan. Tapi bagaimana saat pencuri kenangan itu benar-benar beraksi di tengah-tengah kita? Apa yang bisa kita lakukan selain menyesal setelah kenangan baik itu pergi dan bersyukur saat kenangan buruk itu lari?

Cerita tentang si pencuri kenangan perlahan-lahan merambat dari mulut ke mulut. Singgah dari telinga ke telinga. Tidak ada satu pun orang yang tahu persis bagaimana pencuri itu melakukan aksinya dalam berbagai keadaan. Sebab ia begitu misterius. Ia digadang-gadang sebagai penyihir, dukun, tokoh cerita fiksi, pernah juga sebagai titisan Tuhan oleh orang yang sudah muak dengan agamanya.

Aku dan kamu juga begitu. Menganggap pencuri kenangan itu hanya sebatas cerita yang tidak perlu dianggap serius apalagi benar-benar ada di dunia nyata. Ya, bukankah orang zaman sekarang selalu mengedepankan akal pikiran dibanding perasaan? Apalagi jika dikaitkan dengan ajaran-ajaran terdahulu yang pelan-pelan menjadi punah satu-persatu. Entahlah, semua itu menjadi dinamika alam yang pelan-pelan namun pasti, sedang menuju kematian.

Sampai pada suatu ketika, kau dengan santai membuka pembahasan tentang pencuri kenangan yang kebetulan sedang menjadi tranding topik akhir-akhir ini, lebih tepatnya di kawasan perbukuan tengah Kota yang baru saja mengadakan launching buku oleh salah satu penulis ternama. Entah aku lupa namanya.

"Bagaimana menurutmu tentang pencuri kenangan itu?" Tanyamu dengan penuh antusias. Dari segi intonasi suara, kamu seperti sedang mencari harta karun yang sudah lama terpendam dan tentu akan membuat siapa saja kaya mendadak jika menemukannya.

Tentu aku tidak langsung menjawab. Banyak hal yang secara serentak dan tak beraturan muncul dalam kepalaku. Seperti bagaimana pencuri itu bekerja. Apa definisi kenangan secara umum. Dan hal-hal lainnya yang bisa saja berkaitan dengan keduanya. Meski kadang apa saja selalu bisa dikaitkan dengan apa saja. Tentunya melalui cara khusus yang kadang bisa dibenarkan, dan seringkali tidak bisa dibenarkan.

"Menurutku, itu adalah sebuah perkara yang sangat besar. Sementara itu, kebanyakan orang-orang sudah tidak menyadari hal tersebut. Entah karena memang tidak tahu, atau sengaja dirancang untuk tidak tahu," jawabku santai. Sesantai pertanyaan yang kamu lontarkan.

Kau terdiam selama beberapa detik, seperti sedang memikirkan seuatu. Mungkin, kau membenarkan apa yang baru saja kukatakan, dan mungkin saja sebaliknya. Tapi aku selalu bodoh amat dengan itu. Bukankah setiap orang memiliki sudut pandangnya masing-masing yang secara paten tidak bisa diubah hanya karena sebuah gebyah-uyah.

"Bagaimana kalau aku menyebutnya sebagai penyihir atau dukun yang memang ditugaskan oleh setan untuk menghapus seluruh kenangan dari muka bumi?" Tanggapmu seolah mendramatisir apa yang baru saja kusampaikan.

"Untuk apa?" Tanyaku kurang mengerti.

"Banyak hal," jawabmu singkat.

"Contoh?" Kejarku.

Sejenak kau menghela nafas. Seperti sedang mengumpulkan seluruh amunisi untuk memberikan jawaban terbaik, dan tentuya memuaskan.

"Misal begini, kenangan pertama kita belajar salat dengan Bapak tentu akan membuat kita kembali berpikir, bahwa Bapak adalah sosok yang sangat mulia. Bagaimana ia rela menghabiskan waktunya untuk mengajari kita dengan telaten. Alasannya hanya satu, agar kita selamat dunia-akhirat. Ya, begitulah kira-kira setiap Bapak memperlakukan anaknya," jawabmu dengan ekspresi setengah puas karena merasa aku sudah paham dengan contoh yang kamu berikan. Padahal sebenarnya tidak.

"Terus? Di mana titik relevansinya?" Tanyaku yang memang kadang-kadang secara spontan mengeluarkan kata-kata ilmiah.

Kemudian kau mengeluarkan buku dan pulpen. Bersiap menuliskan sesuatu di dalamnya. Dan aku, sudah memasang perhatian paling serius terhadap bukumu itu.

"Jika kenangan baik itu menghilang, maka orang yang berjasa di dalamnya juga akan turut menghilang. Jika ingatan tentang orang yang berjasa itu menghilang, maka orang yang dicuri kenangannya itu akan kehilangan rasa berterimakasih, rasa menghormati, bahkan mungkin akan berubah pada perkataan dan perbuatan yang semena-mena terhadap orang yang berjasa itu," tandasmu sambil mengakhiri peta konsep sederhana dalam buku itu.

Aku mulai paham. Dan, tak kupungkiri bahwa pikiranku juga membenarkan penjelasanmu itu. Penjelasan yang entah kau dapat dari mana. Dari hasil membaca buku kah? Dari hasil menonton TV kah? Atau jangan-jangan hanya dari hasil ngibul tanpa landasan yang kuat. Intinya, aku sudah mulai menerima jawabanmu itu.

"Apakah ada contoh yang lain?" Tanyaku mencoba mengeksplorasi hal-hal yang lain.

"Tentu sangat banyak sekali. Dan aku tidak mungkin menjelaskan semua itu padamu,"

"Kenapa?"

"Karena pertemuan kita malam ini sangat singkat,"

"Hmm... tapi apakah kamu tidak mau mencontohkan dari versi kenangan buruk?" Tanyaku sekaligus menuntut contoh baru dari sudut yang lain.

Kau terdiam. Hening menyelimuti kebersamaan kita. Sementara orang-orang sekitar di cafe ini sibuk meramaikan suasana dengan berbagai kata-kata yang dilepas ke udara.

"Mungkin begini, jika kenangan itu berangkat dari sisi buruk, dan pencuri itu berhasil melakukan aksinya, maka efek positif yang akan terjadi nantinya," jawabmu santai.

"Terus? Bagaimana itu maksudnya?" Tanyaku mencoba memperdalam jawabanmu sebelumnya.

Lagi-lagi kau menghela nafas. Menyebarkan pandangan. Lalu menyeruput kopi yang hampir tandas itu. Sebelum dengan fasih kau menjawab pertanyaanku itu melalui peta konsep yang ditulis pada halaman terakhir buku itu lagi. Entah itu buku apa.

"Misal begini, aku pernah membuatmu putus dengan pacarmu. Lalu di hari yang lain, aku sudah menjadi pacar dari mantanmu itu. Dengan pengetahuan yang cukup, tentu kamu menganggap ini sebagai kenangan buruk. Dan aku adalah sebagai biang keroknya. Sebagai orang yang harus dibenci, dijauhi, bahkan dibunuh dengan cara yang sadis. Begitu kan kira-kira?" Tanyamu meminta verifikasi.

Aku hanya manggut-manggut. Dan jujur, pembahasan ini membuat kantuk yang sempat singgah menjadi pergi jauh entah ke mana.

"Otomatis, begitu pencuri kenangan itu bekerja lalu berhasil, dan yang dicuri adalah kenangan buruk tadi, maka aku pun akan menghilang dari pikiranmu sebagai orang yang sadis, biadab, dan semacamnya. Lalu dengan alasan yang logis dan alur yang begitu apik, aku akan berubah menjelma sahabat dekat, saudara senasib, atau bisa juga sebagai perantara bertemunya kau dengan pasanganmu yang sejati," jawabmu yang kemudian disusul asap rokok dari mulutmu.

Kini pemahamanku mulai utuh. Memang, malam yang semakin kelam dengan lampu-lampu cafe yang berpijar ria selalu membawa siapa saja tertarik menekuni sebuah pembahasan. Dari saking senangnya, siapa saja yang terjerat di dalamnya bisa lupa bahwa malam hari sudah berubah menjadi dini hari.

"Berarti intinya, efek dari pencurian kenangan itu bisa berbentuk positif dan negatif?" Tanyaku memastikan.

"Betul sekali," jawabmu santai. Sesantai pernyataan pertama tentang pembahasan pencuri kenangan.

"Kalau begitu, aku rasa kecanggihan teknologi di zaman sekarang juga adalah bagian dari pencuri kenangan. Karena kecanggihan teknologi dengan beragam fitur di dalamnya selau dengan mudah mengubah keadaan, mengubah persepsi, mengubah harapan, bahkan mengubah apapun yang sifatnya paling fundamental dalam diri seseorang. Apalagi sampai saat ini, pencuri kenangan yang lagi renyah jadi pembahasan itu entah berwujud seperti apa. Apakah pencuri itu adalah manusia, hewan, setan, malaikat atau hal-hal lainnya. Begitu kan kira-kira?

"Bisa juga seperti itu," responmu dengan senyum manis seperti baru saja mendapatkan pencerahan.

Kemudian, tanpa aba-aba sebelumnya, kau menutup buku yang halaman belakangnya dicorat-coret untuk membahas contoh tentang pencuri kenangan. Dan, aku terkejut melihat judul yang tertera di cover depan buku itu. Ternyata buku itu adalah novel dengan judul "Pencuri Kenangan yang Sedang Dicari Polisi".

Aku tertawa lepas. Apalagi saat mengingat pertama kali kau mengeluarkan buku itu. Entah sengaja atau tidak, buku itu kau keluarkan dalam keadaan terbalik. Lalu pembahasan tentang pencuri kenangan dimulai dengan contoh yang ditulis di halaman belakang. Seolah menjadi jawaban dari seluruh isi novel. Mungkin seperti itu.

Aku mengangkat dan menimang-nimang buku itu. Beberapa kali mencium lembaran-lembaran di dalamnya.

"Berarti, secara tidak langsung kita telah menangkap pencuri kenangan itu yang mungkin masih menjadi pertanyaan dalam novel ini," kataku dengan penuh percaya diri.

"Betul, tapi yang kita tangkap masih salah satunya. Bukankah masih banyak pencuri kenangan lainnya yang belum ditemukan?" Tanyamu lalu bersiap-siap pulang.

"Oh iya," jawabku santai sambil juga bersiap-siap untuk pulang.

Sedangkan malam, sebentar lagi akan menjadi dini hari. Waktu di mana kejahatan banyak dilakukan dalam berbagai keadaan, dan waktu yang sebenarnya banyak mengandung istijabah dalam proses pendekatan pada Tuhan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun