Mohon tunggu...
M. Kholilur Rohman
M. Kholilur Rohman Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Pegiat literasi yang berasal dari Kota Sumenep sekaligus Murabbi Ma'had Sunan Ampel Al-Aly (MSAA) UIN Malang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Malam Minggu yang Sia-sia di Kota Malang

19 Agustus 2024   07:30 Diperbarui: 19 Agustus 2024   07:32 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: iNews

Sejak sore hari, pikiranku sudah memproduksi banyak opsi tentang kegiatan apa yang akan dilakukan pada malam nanti. Malam yang katanya anak muda penuh cinta dan sensasi. Aku yang masih menjadi bagian dari mereka, juga mengamini itu.

Seperti yang pernah kusaksikan dua minggu yang lalu, di group-group whatsapp bersebaran pamflet konser NDX Aka Familia yang digelar di salah satu kampus ternama di Kota Malang. Jelas, di malam minggu, acara itu menuai keramaian dan euforia kalangan muda yang sedang asyik membersamai pasangannya. 

Dan semua kesenanangan itu, hanya bisa kulihat dari postingan story WA teman-teman. Beberapa postingan mereka kukomentari dengan kalimat "Wah, seru banget ya", ada juga yang menggunakan kalimat "Duh, pengen ikutan". Tapi sayang, komentarku tidak mendapat balasan dari mereka. Wajar saja, mereka sepertinya masih tenggelam dalam indahnya malam minggu.

Sementara aku, harus terjebak di ruangan 3X4 yang berisikan banyak barang; mulai dari peralatan mandi, bahan-bahan pokok, camilan, dan lain sebagainya. Ya, ruangan ini adalah toko kelontong Meduro yang biasa buka 24 jam nonstop. Tidak ada istilah "Tutup" untuk jenis toko yang satu ini. 

Bahkan, saat hari kiamat pun toko ini masih akan tetap buka setengah hari. Kira-kira begitulah guyonan yang sempat viral di jagat media sosial. Aku yang pertama kali mendengarkan candaan itu sebelum bekerja di dalamnya, dibikin tertawa terpingkal-pingkal. Ada-ada saja memang orang-orang zaman sekarang.

***

Setelah berhasil menggaet seorang perempuan asal Lumajang dalam bingkai pertunangan, kukira semuanya akan baik-baik saja. Nyatanya tidak. Setelah masalah kejombloan yang cukup lama ini teratasi, masalah yang lebih besar datang begitu saja. Ya, Pak Muhsin selaku orang tua dari tunanganku, atau bisa dibilang calon mertuaku malah mengeluarkan statement yang cukup mengejutkan.

"Setelah ini, kamu harus cari uang yang banyak. Keharmonisan rumah tangga tidak hanya bisa ditopang dengan cinta. Mumpung masih belum menikah. Kalau tidak sanggup, ya lebih baik mundur saja. Kami tidak ingin anak kami hidup dalam kesengsaraan,". Tegasnya pada suatu kesempatan yang tidak ada satu orang pun yang tahu.

Memang, aku berasal dari keluarga sederhana yang hanya menjunjung tinggi nilai kejujuran dan tanggung jawab. Tidak ada ambisi dari keluargaku untuk mendapatkan kekuasaan, jabatan, dan segepok uang yang bikin semua orang tergiur sampai melupakan prinsip kemanusiaan. Meski kesempatan itu sempat datang pada kami, lebih tepatnya pada bapakku yang merupakan aktivis lingkungan pada masanya. Dan, setiap kali aku bertanya kenapa kesempatan itu tidak diambil demi perbaikan ekonomi keluarga, bapak menjawabnya dengan begitu memukau.

"Untuk apa kita mengejar uang dengan begitu ambisi? Toh, uang tidak akan dibawa mati. Apalagi yang tidak kamu tahu, bapak tahu dinamika politik yang sedang terjadi. Belum lagi bapak sudah mendapat kesimpulan tentang siapa yang harus bapak dukung. Ini semua demi kebaikan bersama. Kamu setuju kan kalau kemaslahatan rakyat lebih penting daripada segepok uang yang hanya diterima segelintir orang?" Tanya balik bapak dengan nada serius.

"Setuju, Pak!" Jawabku mantap.

Sejak saat itu, aku tidak pernah bertanya lagi mengapa proyek-proyek yang ditawarkan pada bapak tidak diambil. Hebatnya, bapak selalu berhasil menolak proyek itu dengan cara yang menurutku sangat apik. Tanpa menyinggung perasaan. Tanpa merusak persahabatan.

Waktu terus berputar. Setelah satu minggu dari acara pertunangan, aku mendapat tawaran dari tetangga sebelah barat rumah untuk bekerja menjaga warungnya. Kebetulan, penjaga yang biasanya sedang sakit dan tidak bisa meneruskan pekerjaan. Tentu, tawaran itu tak langsung kuambil. Sejenak, kupikir-pikir lagi tentang sistem kerja, gaji, dan pengeluaran yang akan terjadi di Kota. Jangan sampai sudah giat bekerja, eh malah tetap tidak punya tabungan karena uangnya habis digunakan untuk kebutuhan sehari-hari.

Malam harinya, aku konsultasi pada bapak dan ibu perihal tawaran itu. Keduanya sama-sama memberikan respon positif dan menyerahkan bagaimana keputusannya padaku.

"Terserah sampean mau diambil apa tidak. Setiap keputusan punya sisi positif dan negatifnya masing-masing. Kalau kamu keburu bisa menghasilkan uang, ya diambil saja. Tapi kalau kamu masih mau fokus berkarier di kepenulisan, ya jangan dulu. Karena yang namanya fokus berarti harus pilih satu," jelas ibuku dengan penuh semangat.

Mendengar saran itu, aku langsung teringat pada ucapan Pak Muhsin. Bahwa aku harus segera bekerja supaya bisa mengumpulkan uang.

Sebelum tidur, pikiranku masih berkelana kemana-mana. Antara mengambil tawaran itu atau tidak. Beragam pertimbangan timbul-tenggelam begitu saja dalam kepala. Sampai akhirnya aku tertidur dengan sendirinya.

***

Aku mengambil tawaran itu. Dengan beragam sistem dan prosedur yang telah disepakati, akhirnya aku berangkat ke Kota Malang. Kota yang digadang-gadang sebagai Kota Pendidikan. Meski tujuan utamaku ke sana adalah untuk mencari uang. Bukan untuk belajar.

Awalnya, di Kota yang masih asing, aku tidak memiliki satu pun teman. Dari sini, aku mulai berkenalan dengan para pelanggan yang datang ke warungku. Sebagian mereka bersikap welcome saat kuajak kenalan, sebagian yang lain tidak merespon. Tapi tak mengapa, toh setiap orang memiliki kepribadian dan prioritas masing-masing.

Dalam proses jual beli, awalnya aku terbilang kaku. Komunikasiku dengan para pelanggan masih sangat terbatas. Wajar saja, aku bukan tipikal orang yang suka public speaking. Tapi perlahan-lahan, aku mulai bisa mengakrabi beberapa pelanggan yang kemudian menjadi teman akrabku. Mereka adalah Fahmi dan Irfan. Fahmi adalah mahasiswa semester akhir jurusan hukum manajemen di UIN Malang, dan Irfan adalah mahasiswa semester akhir jurusan matematika di UIN Malang. Dari keduanya, aku banyak belajar tentang Kota Malang.

"Rokok suryanya satu, ngutang ya. Kebetulan dompetnya ketinggalan," ucap Fahmi yang tampak bersiap-siap menuju ke kampus.

"Ok, tapi bayar lho ya. Bisa rugi saya nanti kalau gini," balasku tegas.

"Aman," jawabnya lalu pergi.

Tak jarang kedua temanku ngutang di warung. Meski begitu, mereka selalu tepat waktu untuk membayar.

"Nggak mau ikut nonton konser?" Tanya Irfan via WA.

"Konser apa itu?" Tanyaku balik.

"Konser Denny Caknan, Bro,"

"Wah seru tuh, di mana emang?"

"Staidion Gajayana. Yuk lah gass,"

"Wah, sepertinya skip lagi dulu. Kebetulan nanti malem punya jadwal jaga warung,"

"Oalah, ok semangat bekerja, Bro," jawabnya yang kemudian kudiamkan saja tanpa balasan.

Di Kota Malang, malam minggu benar-benar menjadi euforia tersendiri bagi kalangan muda. Mereka memadati tempat wisata, cafe-cafe sekitar kampus, dan pusat perbelanjaan di beberapa titik. Sehingga, tak heran jika setiap malam minggu, jalanan pasti macet. Sementata aku, hanya bisa menyaksikan semua dinamika itu dari depan warung. Sebagai seorang pekerja. Sebagai calon suami yang berusaha meyakinkan calon mertuanya bahwa dirinya pantas untuk dijadikan menantu. Entah, hasrat untuk bisa keluar dan bebas bersama teman-teman di malam minggu perlahan-lahan tumbuh.

Jam menunjukkan pukul sebelas malam. Tapi kehidupan di Kota tetap berlangsung ramai. Berbeda dengan di desaku. Selepas waktu isya, setiap orang sudah masuk ke rumahnya masing-masing. Pekarangan rumah pun sepi. Tidak ada cafe, konser, atau pusat perbelanjaan yang memanjakan siapa saja yang hidup di Kota.

Setiap kali muncul hasrat ingin keluar dari pekerjaan yang semakin membosankan ini, saat itu juga kuputar kembali ucapan calon mertua yang menantangku untuk membahagiakan anaknya. Mungkin, aku harus bertahan dulu. Demi mendapatkan banyak uang. Demi mendapatkan kepercayaan penuh dari calon mertua. Dan tentu, demi mengangkat keadaan finansial keluarga.

Tiada hari tanpa bekerja. Awalnya, aku punya jatah libur sehari dalam satu minggu. Tapi, untuk menambah pemasukan, kusampaikan bahwa aku ingin kerja nonstop selama satu minggu. Tidak ada hari libur. Sampai akhirnya, aku merindukan hari libur. Dan itu kemudian kusampaikan pada juragan.

"Malam minggu besok, saya izin nggak kerja dulu, Pak. Sepertinya saya butuh suasana baru," ucapku dengan sopan.

Juragan tak langsung menjawab. Timbul kekhawatiran kalau ia nantinya menolak. Tapi ternyata dugaanku salah.

"Ok kalau begitu, malam minggu besok kamu boleh libur kerja," ucap juragan dengan nada datar lalu pergi.

Aku bergembira. Banyak hal yang sudah terbayang untuk dilakukan di malam minggu. Seperti jalan-jalan di seputar kawasan Kajoe tangan, menikmati beragam kuliner, ngopi sambil ngobrol ngalor-ngidul, dan pastinya menyimpan semua momen itu dalam foto agar menjadi kenangan.

***

Pada sabtu sore, cuaca tiba-tiba mendung. Perkiraan dari BMKG, sebentar lagi akan terjadi hujan di bagian Kota Malang. Entah nantinya benar atau tidak. Toh tidak semua perkiraan sesuai dengan kenyataan. Namun, aku hanya bisa berdoa di dalam hati. Semoga tidak hujan.

Waktu terus berlalu. Kali ini perkiraan BMKG tidak meleset. Artinya, harapanku terpatahkan oleh takdir Tuhan. Ya, hujan deras terjadi tepat beberapa menit setelah azan maghrib berkumandang. Dan aku, hanya bisa memandang keadaan sekitar dari depan kos.

Kuhubungi Fahmi dan Irfan. Barangkali setelah hujan reda, mereka ada rencana untuk menikmati malam minggu bersama. Seperti minggu-minggu kemarin. Tapi siapa yang tahu kalau hujan akan reda? Entalah. Lagi-lagi aku hanya bisa berharap.

Setengah jam tidak ada balasan dari keduanya. Jika sudah begini, dapat dipastikan keduanya sedang sibuk dengan pasangannya masing-masing. Entah sibuk dalam bentuk apa. Aku hanya berharap keduanya tidak terjerumus dalam lembah kemaksiatan. Sebagaimana aku yang jarang sekali komunikasi dengan calon istri.

Ternyata hujan tak kunjung reda. Malam semakin kelam. Jalanan tak sepadat biasanya. Mungkin, warga lebih memilih berdiam diri di rumah sambil nonton TV bersama teman atau keluarga. Sementara aku, mulai bingung mau mengisi malam minggu ini dengan kegiatan apa. Nonton kah? Oh tidak. Menulis kah? Apalagi. Aku paling benci yang namanya narasi panjang dengan segala tetek bengeknya. Atau mungkin rebahan sambil merenungi banyak hal? Mungkin saja. Tapi setiap kali aku membayangkan sesuatu, seperti hal-hal yang diharapkan terjadi di masa depan, yang ikut muncul dalam kepala malah ucapan calon mertua yang membuatku berada di sini. Di Kota Malang***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun