Sejak sore hari, pikiranku sudah memproduksi banyak opsi tentang kegiatan apa yang akan dilakukan pada malam nanti. Malam yang katanya anak muda penuh cinta dan sensasi. Aku yang masih menjadi bagian dari mereka, juga mengamini itu.
Seperti yang pernah kusaksikan dua minggu yang lalu, di group-group whatsapp bersebaran pamflet konser NDX Aka Familia yang digelar di salah satu kampus ternama di Kota Malang. Jelas, di malam minggu, acara itu menuai keramaian dan euforia kalangan muda yang sedang asyik membersamai pasangannya.Â
Dan semua kesenanangan itu, hanya bisa kulihat dari postingan story WA teman-teman. Beberapa postingan mereka kukomentari dengan kalimat "Wah, seru banget ya", ada juga yang menggunakan kalimat "Duh, pengen ikutan". Tapi sayang, komentarku tidak mendapat balasan dari mereka. Wajar saja, mereka sepertinya masih tenggelam dalam indahnya malam minggu.
Sementara aku, harus terjebak di ruangan 3X4 yang berisikan banyak barang; mulai dari peralatan mandi, bahan-bahan pokok, camilan, dan lain sebagainya. Ya, ruangan ini adalah toko kelontong Meduro yang biasa buka 24 jam nonstop. Tidak ada istilah "Tutup" untuk jenis toko yang satu ini.Â
Bahkan, saat hari kiamat pun toko ini masih akan tetap buka setengah hari. Kira-kira begitulah guyonan yang sempat viral di jagat media sosial. Aku yang pertama kali mendengarkan candaan itu sebelum bekerja di dalamnya, dibikin tertawa terpingkal-pingkal. Ada-ada saja memang orang-orang zaman sekarang.
***
Setelah berhasil menggaet seorang perempuan asal Lumajang dalam bingkai pertunangan, kukira semuanya akan baik-baik saja. Nyatanya tidak. Setelah masalah kejombloan yang cukup lama ini teratasi, masalah yang lebih besar datang begitu saja. Ya, Pak Muhsin selaku orang tua dari tunanganku, atau bisa dibilang calon mertuaku malah mengeluarkan statement yang cukup mengejutkan.
"Setelah ini, kamu harus cari uang yang banyak. Keharmonisan rumah tangga tidak hanya bisa ditopang dengan cinta. Mumpung masih belum menikah. Kalau tidak sanggup, ya lebih baik mundur saja. Kami tidak ingin anak kami hidup dalam kesengsaraan,". Tegasnya pada suatu kesempatan yang tidak ada satu orang pun yang tahu.
Memang, aku berasal dari keluarga sederhana yang hanya menjunjung tinggi nilai kejujuran dan tanggung jawab. Tidak ada ambisi dari keluargaku untuk mendapatkan kekuasaan, jabatan, dan segepok uang yang bikin semua orang tergiur sampai melupakan prinsip kemanusiaan. Meski kesempatan itu sempat datang pada kami, lebih tepatnya pada bapakku yang merupakan aktivis lingkungan pada masanya. Dan, setiap kali aku bertanya kenapa kesempatan itu tidak diambil demi perbaikan ekonomi keluarga, bapak menjawabnya dengan begitu memukau.
"Untuk apa kita mengejar uang dengan begitu ambisi? Toh, uang tidak akan dibawa mati. Apalagi yang tidak kamu tahu, bapak tahu dinamika politik yang sedang terjadi. Belum lagi bapak sudah mendapat kesimpulan tentang siapa yang harus bapak dukung. Ini semua demi kebaikan bersama. Kamu setuju kan kalau kemaslahatan rakyat lebih penting daripada segepok uang yang hanya diterima segelintir orang?" Tanya balik bapak dengan nada serius.