"Setuju, Pak!" Jawabku mantap.
Sejak saat itu, aku tidak pernah bertanya lagi mengapa proyek-proyek yang ditawarkan pada bapak tidak diambil. Hebatnya, bapak selalu berhasil menolak proyek itu dengan cara yang menurutku sangat apik. Tanpa menyinggung perasaan. Tanpa merusak persahabatan.
Waktu terus berputar. Setelah satu minggu dari acara pertunangan, aku mendapat tawaran dari tetangga sebelah barat rumah untuk bekerja menjaga warungnya. Kebetulan, penjaga yang biasanya sedang sakit dan tidak bisa meneruskan pekerjaan. Tentu, tawaran itu tak langsung kuambil. Sejenak, kupikir-pikir lagi tentang sistem kerja, gaji, dan pengeluaran yang akan terjadi di Kota. Jangan sampai sudah giat bekerja, eh malah tetap tidak punya tabungan karena uangnya habis digunakan untuk kebutuhan sehari-hari.
Malam harinya, aku konsultasi pada bapak dan ibu perihal tawaran itu. Keduanya sama-sama memberikan respon positif dan menyerahkan bagaimana keputusannya padaku.
"Terserah sampean mau diambil apa tidak. Setiap keputusan punya sisi positif dan negatifnya masing-masing. Kalau kamu keburu bisa menghasilkan uang, ya diambil saja. Tapi kalau kamu masih mau fokus berkarier di kepenulisan, ya jangan dulu. Karena yang namanya fokus berarti harus pilih satu," jelas ibuku dengan penuh semangat.
Mendengar saran itu, aku langsung teringat pada ucapan Pak Muhsin. Bahwa aku harus segera bekerja supaya bisa mengumpulkan uang.
Sebelum tidur, pikiranku masih berkelana kemana-mana. Antara mengambil tawaran itu atau tidak. Beragam pertimbangan timbul-tenggelam begitu saja dalam kepala. Sampai akhirnya aku tertidur dengan sendirinya.
***
Aku mengambil tawaran itu. Dengan beragam sistem dan prosedur yang telah disepakati, akhirnya aku berangkat ke Kota Malang. Kota yang digadang-gadang sebagai Kota Pendidikan. Meski tujuan utamaku ke sana adalah untuk mencari uang. Bukan untuk belajar.
Awalnya, di Kota yang masih asing, aku tidak memiliki satu pun teman. Dari sini, aku mulai berkenalan dengan para pelanggan yang datang ke warungku. Sebagian mereka bersikap welcome saat kuajak kenalan, sebagian yang lain tidak merespon. Tapi tak mengapa, toh setiap orang memiliki kepribadian dan prioritas masing-masing.
Dalam proses jual beli, awalnya aku terbilang kaku. Komunikasiku dengan para pelanggan masih sangat terbatas. Wajar saja, aku bukan tipikal orang yang suka public speaking. Tapi perlahan-lahan, aku mulai bisa mengakrabi beberapa pelanggan yang kemudian menjadi teman akrabku. Mereka adalah Fahmi dan Irfan. Fahmi adalah mahasiswa semester akhir jurusan hukum manajemen di UIN Malang, dan Irfan adalah mahasiswa semester akhir jurusan matematika di UIN Malang. Dari keduanya, aku banyak belajar tentang Kota Malang.