Dengan cepat Afrizal membereskan semua barang-baranya dalam tas: buku, pulpen, laptop dan charger jangan sampai ada yang tertinggal. Mengingat jarak tempuh kos ke kampus terbilang cukup lama. Butuh dua puluh menit kalau menggunakan sepeda motor. Itu pun kalau lalu lintas berjalan lancar. Tapi jika macet, maka perjalanan bisa memakan waktu tiga puluh sampai empat puluh menit.
Itulah sebabnya, mengapa Afrizal tergolong jarang nongkrong dengan teman-teman kelasnya. Bukan apa-apa, ia hanya ingin fokus kuliah dan belajar. Lalu menggapai prestasi setinggi-tingginya. Bahkan kalau bisa, selepas kuliah langsung mendapatkan pekerjaan yang nyaman secara finansial dan lingkungan. Ya, semua itu didukung dengan keadaan Afrizal yang bukan termasuk golongan orang kaya.
"Hei Bro, mau ke mana? Kelihatannya keburu banget," ucap Iqbal. Orang paling berpengaruh dalam lingkaran pertemanan cowok di kelas.
"Mau pulang, sudah ada janji dengan orang tua," jawab Afrizal sekenanya.
Iqbal tak langsung merespon. Ia hanya tersenyum tipis sambil melihat teman-temannya.
"Sudahlah, jangan alasan seperti itu. Aku tahu kok kalau kamu mau ke perpustakaan untuk mengerjakan tugas kan?" Tanya Iqbal.
Teman-teman Iqbal yang berjumlah tiga orang itu hanya diam. Tapi sudah jelas mereka berada di pihak siapa.
Afrizal tidak menjawab. Tapi tangannya terus merapikan tasnya. Satu kali lagi, jangan sampai ada yang tertinggal!
"Kalau mau mengerjakan tugas, bagi-bagi dong hasilnya. Masak nilai bagus kamu borong sendiri, itu namanya serakah. Dan serakah itu tidak baik!" Ujar salah satu teman Iqbal yang diikuti dengan senyuman.
Afrizal membisu. Tidak ada waktu lagi. Ia sudah janjian untuk bertemu seseorang di perpustakaan kampus. Di bagian pojok barat. Tempat yang dindingnya bertuliskan quotes indah dan space untuk menyelesaikan tugas. Jauh dari suara-suara bising yang mengganggu konsentrasi. Di sanalah Afrizal dan Safira sering bertukar cerita, refrensi kuliah, bahan bacaan, dan lain sebagainya. Hanya satu yang belum keduanya tukar: perasaan satu sama lain.