Semakin hari, istri Pak Usman terus mencecar sang suami perihal keteguhannya menjadi guru SD di wilayah terpencil dengan honor yang kecil pula. Bagi sang istri, menjadi guru SD bukanlah jalan keluar di saat keluarga sedang dihimpit ekonomi sulit. Apalagi sejak sepuluh tahun yang lalu, Pak Usman tak pernah mendapatkan penghargaan atas dedikasinya menjadi guru.
"Coba lihat tetangga sekitar, Pak. Keadaan ekonomi mereka sudah mulai meningkat. Sementara kita, dari dulu begini-begini terus," protes Farroha. Istri Pak Usman.
Pak Usman tak langsung menjawab. Dalam hatinya, Pak Usman juga merasakan betul apa yang baru saja dikatakan istrinya.
"Ya sabar tho, setiap manusia punya porsi rezekinya masing-masing. Nggak baik membanding-bandingkan seperti itu," balas Pak Usman.
Seolah tak mau kalah, Farroha kembali menyampaikan argumennya.
"Lagian sampean kan sudah tak bilangi dari dulu, mending berhenti saja jadi guru SD di sana. Selain gajinya yang tidak mencukupi, waktu bapak juga banyak tersita di sana. Coba saja bapak berwirausaha, uang yang kita dapat bisa lebih besar," cecar Farroha.
Pak Usman tertegun. Batinnya selaku guru terusik hebat. Seolah-olah, gaji dirinya yang relatif kecil menurunkan derajat guru yang seharusnya ditinggikan.
"Menjadi guru bukan soal uang, Dek. Ini panggilan hati untuk mendidik generasi bangsa yang akan datang. Lagi pula, mau jadi apa generasi masa depan nanti kalau nggak dididik serius di zaman yang sudah rusak ini," tegas Pak Usman sambil meninggikan intonasi suaranya.
"Iya saya paham. Tapi ya tetap harus diperhatikan juga kebutuhan keluarga kita. Keadaan uang kita sudah sangat miris, apalagi harga bahan-bahan pokok terus naik. Sebentar lagi Adit mau masuk sekolah yang tentu butuh biaya. Apa Mas nggak kepikiran ke sana?"
Pak Usman mati kata. Apa yang baru saja dikatakan istrinya memang benar adanya. Harga bahan-bahan pokok melunjak drastis, belum lagi tetangga sekitar yang sudah semakin mapan ekonominya, serta tagihan sekolah anak pertama akan segera datang. Tagihan yang setiap semester rutin membuat Pak Usman harus berani berhutang. Berhutang pada siapapun yang sekiranya masih menyimpan rasa kasih sayang pada sesama.
Percakapan selesai. Farroha kembali ke dapur, sementara Pak Usman masih tetap di ruang tamu. Berpikir keras untuk keluar dari masalah ekonomi yang menghimpit keluarganya.
Muncul pemikiran untuk kembali berhutang pada orang yang selalu memberi Pak Usman uang, yakni Pak Kodir. Mungkin masih tersisa rasa kepercayaan dan kasih sayang pada dirinya, di tengah sifat kikir yang mulai menjadi penyakit banyak orang. Meski rasa itu sudah tercampur aduk dengan rasa jengkel karena sering menjadi sasaran berhutang oleh Pak Usman.
Tak butuh waktu lama, Pak Usman sudah sampai di depan rumah Pak Kodir. Seketika muncul rasa sungkan jika harus kembali memelas di hadapan Pak Kodir untuk mendapatkan pinjaman uang. Bukankah keluarga Pak Kodir juga sedang membutuhkan banyak uang di tengah beragam urusannya yang katanya kian sulit.
Bersamaan dengan perasaan itu, muncul juga wajah sang istri yang menagih uang belanja dengan begitu beringas, dan wajah lesu Adit yang meminta uang iuran dan jajan sekolah selama beberapa hari ke depan. Dua pemandangan itu yang menguatkan perasaan Pak Usman untuk kembali mengetuk pintu dan mengutarakan maksud dan tujuan kedatangannya.
Begitu Pak Kodir membuka pintu, Pak Usman disambut dengan baik. Sejenak keduanya berbasa-basi, lalu beralih dan duduk di ruang tengah. Ditemani setoples kue cokelat dan dua cangkir teh, Pak Usman menceritakan sejujur-jujurnya keadaan dan keinginannya menemui Pak Kodir. Sementara sang tuan rumah hanya mendengarkan dengan khidmat tanpa menjeda sedikit pun.
"Begini Pak Usman, untuk pinjaman uang yang sampean maksud tadi, sepertinya saya masih belum bisa bantu. Tapi, mungkin saya ada solusi lain yang bisa meringankan beban Pak Usman," jelas Pak Kodir dengan santai dan lugas.
"Solusi bagaimana, Pak?" Tanya Pak Usman kecewa bercampur penasaran.
"Kebetulan bulan ini, saya ada proyek pengerjaan gedung pemerintah dengan kolega saya. Nah, nanti sampean mungkin bisa bantu-bantu jadi kuli bangunan di sana, Pak. Meskipun bayarannya tidak besar, tapi insyaallah cukup buat kebutuhan sehari-hari," jelas Pak Kodir.
Pak Usman tak langsung merespon. Memang, menjadi kuli bangunan bukanlah hal yang baru dan berat bagi Pak Usman. Apalagi beberapa tahun lalu, Pak Usman juga pernah menjadi kuli bangunan di salah satu proyek masjid besar provinsi. Yang dipikirkan Pak Usman adalah kewajiban mengajarnya yang mungkin nanti akan terbengkalai.
"Berarti seharian ful kerjanya nggih, Pak? Soalnya saya juga ada tanggungan mengajar di sekolah," tanya Pak Usman sekaligus memberikan pernyataan.
"Betul, Pak. Berarti sampean harus libur dulu atau sekalian berhenti dari sekolah, Pak," jawab Pak Kodir tegas.
Pak Usman tak langsung memberikan respon. Spontan percakapan beralih pada hal-hal lain. Sampai pada setengah jam kemudian, Pak Usman pamit pulang dan akan memberikan jawabannya besok. Antara iya dan tidak, Pak Usman tidak bisa langsung memutuskannya sekarang.
***
Di ruang tengah, Pak Usman berdiskusi dengan istrinya perihal keputusan apa yang akan diambil. Antara tetap idealis menjadi guru sebagai pendidik generasi bangsa, meski sangat minim gaji yang diterima. Atau melepas kehormatan seorang pendidik demi mendapatkan uang guna menghidupi kebutuhan keluarga.
"Sudah, lepas saja profesi guru itu. Jika terus begini, kita bisa mati kelaparan, Pak. Lagian menjadi guru di sini, seperti tidak mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Apa mereka tidak sadar, kalau munculnya generasi hebat berasal dari kehidupan guru yang sejahtera," ucap sang istri.
Dalam hati, Pak Usman membenarkan apa yang dikatakan istrinya. Belum lagi dirinya sering mendapatkan kritikan dari para orang tua saat anak mereka nakal di rumah. Seolah-olah semua itu menjadi kesalahan guru. Padahal, orang tua juga punya tanggung jawab untuk menjaga tumbuh-kembang anak. Terutama saat berada di rumah. Dan Pak Usman masih ingat betul, beberapa hari yang lalu, dirinya diomelin oleh salah satu ibu dari anak didiknya.
"Ok kalau begitu, saya akan ambil proyek bersama Pak Kodir dan melepas profesi guru," ucap Pak Usman dengan tegas.
Sang istri yang mendengarkan keputusan suaminya langsung memeluk sang suami. Mata Farroha yang berkaca-kaca menunjukkan keterharuan dirinya atas keberanian sang suami. Mengingat Pak Usman adalah salah satu guru senior. Guru yang paling mengerti bagaimana sulitnya dan mulianya menjadi seorang guru.
Meski demikian, Pak Usman tetap bertekad untuk mengajar kembali setelah keadaan ekonomi keluarga kembali stabil. Sebab, nalurinya sebagai seorang guru dan kecintaannya pada proses belajar-mengajar tidak bisa ditukar dengan uang. Hal ini tertanam dalam diri Pak Usman sejak kecil. Saat orang tua Pak Usman masih hidup dan banyak melahirkan generasi-generasi hebat. Dan sang istri tahu persis semua itu.
Coba jika seandainya gaji Pak Usman sebagai guru terbilang cukup, mungkin sang istri tidak perlu repot-repot menyuruh suaminya untuk mencari pekerjaan lain. Apalagi di zaman sekarang, kemuliaan guru benar-benar menjadi tanda tanya besar.
***
Besok hari harinya, di sore yang cerah, Pak Usman langsung mendatangi Pak Kodir. Setibanya di depan rumah Pak Kodir, tanpa harus mengetuk pintu, sang pemilik rumah keluar sambil membawa tas hitam.
"Oh, Pak Usman. Ada apa, Pak?" Tanya Pak Kodir yang langsung menjabat tangan tamunya.
"Ini, Pak. Ee..perihal yang kemarin, saya mau mengambil tawaran bapak untuk menjadi kuli bangunan. Untuk urusan sekolah sudah saya kondisikan, Pak. Kemarin saya sudah mengurus surat pemberhentian," jelas Pak Usman.
Spontan raut wajah Pak Kodir berubah. Sebelum pembahasan berlanjut lebih jauh, Pak Kodir mempersilahkan Pak Usman untuk duduk di kursi teras rumah. Mencoba memberikan ketenangan dan pengertian atas penjelasan yang akan disampaikan.
"Mohon maaf, Pak. Bukan bermaksud melanggar atau mempermainkan bapak. Tapi semalem, ponakan saya dari kampung menelpon kalau dia butuh pekerjaan. Pekerjaan apapun asalkan itu halal. Karena dia baru saja berkeluarga dan harus memenuhi banyak kebutuhan, jadi saya berikan jatah satu orang kuli itu pada ponakan saya," ucap Pak Kodir dengan pelan. Berusaha memberikan pengertian.
"Dan lagi, saya tidak tega Pak kalau mendengar cerita ponakan saya tentang bagaimana mertuanya menuntutnya untuk segera bekerja. Bukan apa-apa, dia masih tergolong remaja yang masih belum bisa mencari dan memanfaatkan peluang. Maklum, dia lahir dari rahim orang kaya yang harus bangkrut karena ditipu orang. Jadi ponakan saya belum terbiasa hidup keras seperti kita ini," tambah Pak Kodir.
Pak Usman mendengarkan tanpa sedikit pun menjeda penjelasan Pak Kodir. Pak Usman membayangkan, jika seandainya ia berada di posisi Pak Kodir, mungkin ia akan melakukan sebagaimana yang dilakukan Pak Kodir. Berat memang. Apalagi ketika berhubungan dengan keluarga atau kerabat dekat.
"Ya sudah, Pak. Tidak apa-apa. Kalau begitu, saya langsung mohon pamit," ucap Pak Usman lalu beranjak dan pergi setelah bersalaman.
Sepanjang perjalanan pulang, Pak Usman bingung mau menjelaskan bagaimana nanti pada istrinya. Keputusannya mengambil proyek kurang cepat hingga keduluan yang lain. Sungguh, mencari dan mendapatkan pekerjaan di zaman sekarang memang tak semudah yang dibayangkan.
Di sisi lain, Pak Usman sudah melepas profesinya sebagai guru. Profesi yang sudah dinggap sebagai jati diri Pak Usman sendiri. Semua itu demi uang untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Dan sekarang, Pak Usman sudah kehilangan jati dirinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H