Mohon tunggu...
M. Kholilur Rohman
M. Kholilur Rohman Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Pegiat literasi yang berasal dari Kota Sumenep sekaligus Murabbi Ma'had Sunan Ampel Al-Aly (MSAA) UIN Malang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Guru yang Kehilangan Dirinya

28 Juli 2024   15:35 Diperbarui: 28 Juli 2024   15:41 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semakin hari, istri Pak Usman terus mencecar sang suami perihal keteguhannya menjadi guru SD di wilayah terpencil dengan honor yang kecil pula. Bagi sang istri, menjadi guru SD bukanlah jalan keluar di saat keluarga sedang dihimpit ekonomi sulit. Apalagi sejak sepuluh tahun yang lalu, Pak Usman tak pernah mendapatkan penghargaan atas dedikasinya menjadi guru.

"Coba lihat tetangga sekitar, Pak. Keadaan ekonomi mereka sudah mulai meningkat. Sementara kita, dari dulu begini-begini terus," protes Farroha. Istri Pak Usman.

Pak Usman tak langsung menjawab. Dalam hatinya, Pak Usman juga merasakan betul apa yang baru saja dikatakan istrinya.

"Ya sabar tho, setiap manusia punya porsi rezekinya masing-masing. Nggak baik membanding-bandingkan seperti itu," balas Pak Usman.

Seolah tak mau kalah, Farroha kembali menyampaikan argumennya.

"Lagian sampean kan sudah tak bilangi dari dulu, mending berhenti saja jadi guru SD di sana. Selain gajinya yang tidak mencukupi, waktu bapak juga banyak tersita di sana. Coba saja bapak berwirausaha, uang yang kita dapat bisa lebih besar," cecar Farroha.

Pak Usman tertegun. Batinnya selaku guru terusik hebat. Seolah-olah, gaji dirinya yang relatif kecil menurunkan derajat guru yang seharusnya ditinggikan.

"Menjadi guru bukan soal uang, Dek. Ini panggilan hati untuk mendidik generasi bangsa yang akan datang. Lagi pula, mau jadi apa generasi masa depan nanti kalau nggak dididik serius di zaman yang sudah rusak ini," tegas Pak Usman sambil meninggikan intonasi suaranya.

"Iya saya paham. Tapi ya tetap harus diperhatikan juga kebutuhan keluarga kita. Keadaan uang kita sudah sangat miris, apalagi harga bahan-bahan pokok terus naik. Sebentar lagi Adit mau masuk sekolah yang tentu butuh biaya. Apa Mas nggak kepikiran ke sana?"

Pak Usman mati kata. Apa yang baru saja dikatakan istrinya memang benar adanya. Harga bahan-bahan pokok melunjak drastis, belum lagi tetangga sekitar yang sudah semakin mapan ekonominya, serta tagihan sekolah anak pertama akan segera datang. Tagihan yang setiap semester rutin membuat Pak Usman harus berani berhutang. Berhutang pada siapapun yang sekiranya masih menyimpan rasa kasih sayang pada sesama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun