Tas yang dibawanya tampak berat. Terlihat dari keringat dan mimik wajahnya yang bersungguh-sungguh untuk mengangkatnya. Dengan cepat kernet membantunya meletakkan barang dan dia duduk di depan orang misterius tadi. Kuharap laki-laki itu tidak berbuat jahat pada wanita itu.
"Terima kasih," ucap wanita itu setelah menerima kembalian dari kernet.
Bis kembali berjalan seperti biasa.
Jika diperhatikan dengan seksama, perempuan itu tampaknya adalah seorang mahasiswi semester tiga yang hendak pulang kampung. Fani yang masihh tergolong kanak-kanak tentu tidak sesuai dengan perempuan itu. Ia butuh tambahan umur sekitar sepuluh atau sebelas tahun lagi untuk bisa mendekati perempuan itu. Kemudian menjadikannya teman hidup.
Di dekat supir, si kernet duduk manis sambil menikmati gorengan yang ia beli saat bis berhenti sejenak. Fani yang melihat itu langsung direspon oleh perutnya. Tapi lagi-lagi dia harus menahan hasrat itu karenan masih ada yang lebih penting. Yaitu makanan pokok.
##@@##
Jauh di sana, Ibu telah sampai di rumah dari tempatnya mengemis. Sedang bapak masih berada di tempat biasa dia mengemis. Meskipun begitu, kelluarga dengan ekonomi yang sangat memprihatinkan ini masih bisa tetap bahagia.Â
Ini bukti bahwa bahagia tidak sepenuhnya datang dari kecukupan harta, tingginya jabatan, dan hal-hal yang berbau duniawi. Mereka masih bisa tersenyum dengan keadaan yang sangat sulit.
"Fani kok belum datang ya?" tanya Ibu pada dirinya sendiri.
"Ah, mungkin masih bermain di sungai," jawabnya sendiri berpikir positif.
Fani sejak dulu memang sering bermain di sungai. Jika seandainya jam pulang dia belum datang, maka sembian puluh persenn dapat dipastikan dia berada di sungai.Â