Mohon tunggu...
M. Kholilur Rohman
M. Kholilur Rohman Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Pegiat literasi yang berasal dari Kota Sumenep sekaligus Murabbi Ma'had Sunan Ampel Al-Aly (MSAA) UIN Malang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pengamen Kecil

23 Agustus 2019   06:30 Diperbarui: 23 Agustus 2019   06:42 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Disampingnya ada seorang ibu-ibu yang menggendong bayi sekitar umur sepuluh bulan. Terpancar cahaya masa depan dari mata anak itu. Mungkin kelak dia akan menjadi orang besar.

Selama perjalanan Fani tak ada niat untuk membuka kantong plastiknya tuk sekedar memastikan berapa rupiah yang ia dapatkan. Fani hanya sesekali bersiul mengusir jenuh yang datang tanpa aba-aba. Ia berharap ada pengamen perempuan yang masuk kemudian bernyanyi sebagai hiburan bagi dirinya.

Bis berjalan pelan. Harapan Fani tak terkabul. Sepuluh menit kemudian bis berhenti di pasar baru dan Fani pun turun dengan santainya.

Pas ketika Fani menginjakkan kakinya ke tanah, matahari langsung menyambutnya dengan sinar panas yang membuat kulit Fani hitam jika terus berlama-lama di bawahnya. 

Lima orang yang menunggu di pinggir jalan langsung masuk ke pintu di mana Fani keluar. Nafas Fani seolah terlepas dari beban begitu sepenuhnya keluar dari bis.

Kebetulan di depan sana, Fani menemukan tempat duduk umum yang dihiasi oleh bunga-bunga dan pohon cemara yang agak besar. Fani memutuskan untk istirahat di sana sekaligus melepas lelah dan menghitung rupiah yang baru saja dia dapatkan.

Tiga ribu rupiah.

Nomial yang didaptkan hari ini jauh lebih sedikit dibanding hari kemarin. Di hati paling dalam dia merasa seedih menerima itu semua, tapi apalah daya, semua yang diberikan Tuhan harus disyukuri.

Waktu sudah menunjukkan pukul 10.00 WIB. Jam segitu biasanya Fani langsung pulang menuju rumah. Dia memang tidak seharian bekerja mengamen, apalagi di usianya yang masih tergolong kanak-kanak. Namun bedanya kali ini, terintas dalam benak Fani untuk kembali berjuang di bis berikutnya.

Selama menunggu bis, Fani hanya duduk santai menikmati panas yang sebenarnya bukan sebuah kenikmatan. Pohon cemara yang berada di sekitarnya tak mampu tuk melindunginya dari sengatan panas yang semakin menggila. Gerobak bakso berwarna biru tampakk ramai di seberang jalan. Dan perut Fani sebenarnya sedang keroncong tapi sengaja ia tahan.

##@@##

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun