Mohon tunggu...
M. Kholilur Rohman
M. Kholilur Rohman Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Pegiat literasi yang berasal dari Kota Sumenep sekaligus Murabbi Ma'had Sunan Ampel Al-Aly (MSAA) UIN Malang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Cahaya di Ujung Senja

22 Mei 2019   08:20 Diperbarui: 22 Mei 2019   08:23 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sinar senja masih berkilauan di bilik awan. Para gerombolan burung meramaikan semesta raya. Angin yang berhembus pelan menerbangkan daun-daun yang berguguran. Mengangkut debu ke segala arah tak beraturan. Gelombang ombak pantai mencipta irama nyanyian. Yang tak bisa dimanipulasi oleh penyanyi tersohor masa depan. Membuat suasana sore ramai tak terelakkan. Sedangkan aku, masih duduk terpekur mengulang harapan yang masih dalam bayangan.

Namaku rivan. Aku ditakdirkan hidup sebagai seorang anak pantai. Aku mempunyai empat orang sahabat yang sangat dekat denganku. Mereka adalah Firman, Hafil, Ibar, dan Malthuf. Kami berlima selalu bernaung di bawah senja sambil ditemani oleh si kulit bundar. Berlari menggiring bola harapan yang tertanam mantap di benak kami.

"Eh van, tampaknya kita harus pergi ke kota deh," kata Ibar saat selesai latihan.

"Ngapain ke kota bar?" tanyaku penuh heran.

"Iya ngapain bar?" timpal malthuf sambil memainkan bola yang ada di tangannya.

"Ya buat mencari informasi lah terkait sepak bola. Mungkin diluar sana ada semacam lomba yang bisa kita ikuti gitu. Kalau kita begini terus, kapan kita bisa mewujudkan impian kita?" jelas Ibar seperti seorang motivator ulung.

"Bisa juga tuh usulan Ibar," ucap hafil mendukung usulan ibar.

Aku yang ditunjuk sebagai kapten tim futsal kecil-kecilan ini mulai merenungkan usulan Ibar. Entah atas dasar apa mereka menunjukku sebagai kapten. Semuanya terjadi begitu saja.

"Hmm.." kataku pelan sambil memicingkan mataku tanda sedang berpikir.

Tak lama dari itu, senja kemudian tenggelam seiring keluarnya bulan dari peranduan. Akhirnya aku memutuskan untuk pulang. Alangkah lebih baiknya jika urusan ini dipikirkan matang-matang dan tidak diputuskan sekarang.

"Kita pulang dulu aja yuk, kalian konsultasi dulu sama keluarga kalian. Aku nanti juga akan konsultasi sama orang tuaku. Gimana?" ajakku sambil berdiri dan membersihkan pasir yang melekat di celanaku.

"Ok dah," jawab Malthuf.

"Ok juga deh," timpal Hafil.

Firman hanya mengangguk dan ikut berdiri. Kami memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing. Menunggu kepastian yang masih belum matang. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya aku pun tak tahu. Hanya DIA-lah yang maha tahu segalanya. Kami hanya berharap yang terbaik.

##@@##

Keesokan harinya kami kembali berkumpul di tempat yang sama dengan perasaan yang berbeda. Semua terlihat dari raut wajah yang ditunjukkan setiap masing-masing orang.

"Aduh.., aku enggak dibolehin sama orang tuaku kawan," desah Malthuf padaku sama yang lain.

"Loh kenapa?" Tanya Hafil pertama kali.

"Jadi gini, orang tuaku itu menginginkan aku melanjutkan profesi mereka sebagai nelayan. Enggak usah aneh-aneh katanya," jelas Malthuf dengan mimik sedihnya.

"Sebenarnya aku juga enggak dibolehin sama orang tuaku kawan," celetuk Hafil.

"Loh kamu juga kenapa?" Tanya Ibar santai.

"Keluargaku sebentar lagi mau ke kota dan aku disuruh ikut kesana. Tapi ini bukan untuk sepak bola atau futsal, aku disuruh sekolah dan fokus untuk itu. Orang tuaku kayaknya enggak setuju jika aku menekuni bidang ini kawan," curhat Hafil.

Aku dengan khusyuk mendengarkan cerita semua teman-temanku. Malthuf dan Hafil sedang berada di barisan kontra. Ibar berada di posisi pro. Firman masih belum ada kejelasan dan kemungkinan kontra. Sedangkan aku, aku masih belum mendapatkan kejelasan akan hal itu.

Permainan kembali berlangsung meski tak seseru waktu kemarin. Kondisi pikiran yang sedikit tidak terima akan keadaan mungkin itulah penyebabnya. Rasa tawa terasa berkurang dan permainan terasa hambar. Aku merasakan itu. Entah yang lain. Kami sejak kecil memang selalu bersama. Nasib tak bisa mengenyam pendidikan menjadikan kami berada dalam satu rasa. Namun hal itu tak menghalangi senyum kami pada dunia. Kami tetap tertawa lepas diiringi ombak yang terus mengalun tanpa bosan. Dan sebentar lagi Hafil akan mengembara ke kota bersama keluarganya meninggalkan aku dan yang lain.

##@@##

Waktunya telah tiba. Perpisahan seorang sahabat akan segera digelar. Namun sebelum hal itu benar-benar terjadi, kami terlebih dahulu berkumpul di tempat kesukaan kami. Di sana sepatah dua patah kata terucap sebelum mengakhiri kebersamaan ini yang entah sampai kapan.

"Kawan, aku pamit dulu ya," kata Hafil sambil menyalami kami satu persatu.

"Hati-hati di jalan fil," ucapku mewakili teman-teman dan sebagai penutup pembicaraan.

"Iya van, makasih," jawab Hafil dengan senyum.

Langkah kaki itu masih terlihat jelas di pelupuk mata. Perlahan-lahan mulai menjauh dan berubah menjadi titik hitam. Hingga akhirnya ia menghilang tak bisa lagi dipandang.

Aku, Malthuf, Ibar, dan Firman kembali melangsungkan permainan tanpa seorang Hafil. Kepergian Hafil sungguh amat terasa bagi kami kala itu. Permainan seakan pincang dan tak seperti biasanya. Tapi kami masih tetap bermain. Berlatih dan terus berlatih. Berharap mimpi yang dirajut sejak dulu bisa teruwud di masa depan. Tak peduli pada keadaan yang semakin menantang cita-cita kami. Segala usaha tetap dilakukan demi menyambut senyuman kesuksesan.

##@@##

Waktu semakin cepat berlalu. Tak terasa sudah satu bulan Hafil meninggalkan kami. Permainan yang biasa dilakukan di bawah kaki senja kini mulai pudar. Semuanya telah sibuk dengan urusannya masing-masing. Malthuf lebih sering membantu orang tuanya melaut. Firman dikabarkan juga merantau ke kota bersama keluarganya. Dan Ibar entah kemana aku pun tak tahu. Kini hanya tinggal aku seorang diri. Tetap istiqomah mengamati senja yang sebentar lagi akan tenggelam. Bersama si kulit bundar yang sudah mulai rusak di berbagai sisinya.

Pertandingan final sepak bola nasional usia remaja sebentar lagi akan segera digelar. Riuh gemuruh penonton memadati stadion gelora bung karno (GBK) Jakarta. Suara terompet dan drum yang ditabuh saling bersahut-sahutan tak kenal lelah. Aku, Ibar, Firman, Malthuf, dan Hafil tergabung dalam club Galaxy FC dibawah asuhan coach Guntur Pratama. Perjalanan terjal yang kami tempuh tak membuat kami putus asa dan kembali ke garis start. Semua kami hadapi dengan sabar dan semangat. Hingga akhirnya aku dan teman-temanku bisa menginjakkan kaki di stadion terbesar di Indonesia dalam pertandingan final kejuaraan sepak bola usia remaja.

Menit ke 90 telah tertulis di angka layar. Menandakan pertandingan sebentar lagi akan segera usai. Skor sementara 1-0 atas keunggulan tim kami. Perpanjangan waktu tiga menit membuat semuanya masih mungkin terjadi. Pertandingan semakin panas. Satu menit bagaikan satu jam bagi club kami. Dan mungkin sebaliknya bagi kelompok lawan.

Priiit..priitt.. suara peluit wasit telah dikumandangkan. Bertanda bahwa pertandingan telah benar-benar usai. Seluruh supporter seketika itu pula berhamburan ke bawah. Menyambut kemenangan kami dengan gelak tawa dan senyuman yang terpatri di setiap wajah. Kami diangkat dan dijunjung tinggi oleh mereka mendekati awan yang jauh diatas sana. Meski tak benar-benar dekat, setidaknya mengurangi jarak yang terlampau jauh tak terkira.

##@@##

Tanpa kusadari gelap telah menyelimutiku sejak tadi. Mencipta perayaan besar akan sebuah kemenangan di lapangan hijau. Dan kini aku telah kembali pada waktuku. Dimana kenyataan ada disana. Aku kembali membersihkan celanaku yang dihinggapi pasir. Berdiri kemudian pergi meninggalkan ombak pantai sendirian.

Ingatan itu kembali terbang mengelilingi pikiranku. Menghalangiku untuk membuka pintu mimpi. Dan benar. Aku tidak bisa tidur malam ini. Terbuai oleh perayaan besar yang baru saja aku rayakan bersama sahabat-sahabatku. Dan kini semuanya telah sirna. Aku harus berjuang lebih keras lagi agar bisa menggapai perayaan yang menungguku di masa depan.

"Ya. Tampaknya sekarang aku harus nekad" kataku dalam hati.

Rembulan semakin menunjukkan kekuasaannya di angkasa. Sedangkan aku msih berkutat dengan pikiranku sendiri. Hingga akhirnya semuanya gelap.

##@@##

Setelah melewati serangkaian tragedi, akhirnya aku berhasil menginjakkan kaki di kota jakarta. Mencari sesosok sahabat yang merantau di jantung kota. Entah kemana kaki ini harus melangkah. Yang jelas kali ini aku tidak boleh menyerah. Sebab aku tidak ingin perayaan ini hanya terjadi sekali.

Satu minggu sudah aku berada di negeri orang. Hidup seperti gelandangan mengais sisa-sisa makanan. Restu yang tak kudapat dari orang tua membuatku hanya berbekal keberanian. Dan disinilah kemelaratanku dimulai. Dicaci, dihina, dimaki, dan diusir adalah camilanku setiap harinya. Hari-hariku dipenuhi air mata yang tak jadi jatuh lantaran aku sadar bahwa aku adalah seorang lelaki dewasa.

Tanpa sengaja aku melewati warung yang sedang menyetel televisi siaran pertandingan sepak bola. Aku terdiam mengamatinya sejenak. Merindukan suasana saat bermain bersama teman-temanku. Namun alangkah terkejutnya aku, ketika melihat Hafil ada disana. Di salah satu tim yang sedang bertanding kala itu. Dengan cepat aku mencari info terkait Hafil hingga aku berhasil mendapatkannya.

##@@##

Pertemuan yang dirindukan akhirnya terjadi. Tepat disaat aku udah mencapai satu bulan di Jakarta. Awal mulanya saat tim Hafil ingin bertanding, aku nekad menerobos ribuan supporter saat menyambut pemain yang keluar dari bis.

"Rivan..!!" kata Hafil terkejut setelah melihatku yang lebih pantas dipanggil gelandangan.

Adegan pelukan akhirnya terjadi begitu saja tanpa direncanakan sebelumnya. Percakapan singkat terjadi antara aku dan Hafil. Hafil tak bisa berlama-lama saat itu karena sebentar lagi ia akan bertanding.

Di waktu yang lain, aku dan Hafil kembali bertemu kemudian bercerita panjang kali lebar satu sama lain. Kedua orang tua hafil yang meninggal lantaran penyakit yang menyerang membuatnya hampir putus asa. Sebab itu Hafil kembali mecoba sepak bola hanya sebatas ingin menghibur hatinya. Tanpa disangka-sangka, penawaran untuk menjadi pemain sepk bola resmi berdatangan pada dirinya hingga akhirnya seperti ini keadaannya.

Sejak saat itu aku dan Hafil memiliki misi untuk menyatukan lima serangkai yang telah lama bercerai-berai. Kami hanya menunggu waktu yang tepat untuk merealisasikan hal itu. Entah itu kapan, hanya tuhanlah yang maha tahu. Aku hanya ingin mengulang perayaan itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun