Mohon tunggu...
M. Kholilur Rohman
M. Kholilur Rohman Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Pegiat literasi yang berasal dari Kota Sumenep sekaligus Murabbi Ma'had Sunan Ampel Al-Aly (MSAA) UIN Malang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Cahaya di Ujung Senja

22 Mei 2019   08:20 Diperbarui: 22 Mei 2019   08:23 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku dengan khusyuk mendengarkan cerita semua teman-temanku. Malthuf dan Hafil sedang berada di barisan kontra. Ibar berada di posisi pro. Firman masih belum ada kejelasan dan kemungkinan kontra. Sedangkan aku, aku masih belum mendapatkan kejelasan akan hal itu.

Permainan kembali berlangsung meski tak seseru waktu kemarin. Kondisi pikiran yang sedikit tidak terima akan keadaan mungkin itulah penyebabnya. Rasa tawa terasa berkurang dan permainan terasa hambar. Aku merasakan itu. Entah yang lain. Kami sejak kecil memang selalu bersama. Nasib tak bisa mengenyam pendidikan menjadikan kami berada dalam satu rasa. Namun hal itu tak menghalangi senyum kami pada dunia. Kami tetap tertawa lepas diiringi ombak yang terus mengalun tanpa bosan. Dan sebentar lagi Hafil akan mengembara ke kota bersama keluarganya meninggalkan aku dan yang lain.

##@@##

Waktunya telah tiba. Perpisahan seorang sahabat akan segera digelar. Namun sebelum hal itu benar-benar terjadi, kami terlebih dahulu berkumpul di tempat kesukaan kami. Di sana sepatah dua patah kata terucap sebelum mengakhiri kebersamaan ini yang entah sampai kapan.

"Kawan, aku pamit dulu ya," kata Hafil sambil menyalami kami satu persatu.

"Hati-hati di jalan fil," ucapku mewakili teman-teman dan sebagai penutup pembicaraan.

"Iya van, makasih," jawab Hafil dengan senyum.

Langkah kaki itu masih terlihat jelas di pelupuk mata. Perlahan-lahan mulai menjauh dan berubah menjadi titik hitam. Hingga akhirnya ia menghilang tak bisa lagi dipandang.

Aku, Malthuf, Ibar, dan Firman kembali melangsungkan permainan tanpa seorang Hafil. Kepergian Hafil sungguh amat terasa bagi kami kala itu. Permainan seakan pincang dan tak seperti biasanya. Tapi kami masih tetap bermain. Berlatih dan terus berlatih. Berharap mimpi yang dirajut sejak dulu bisa teruwud di masa depan. Tak peduli pada keadaan yang semakin menantang cita-cita kami. Segala usaha tetap dilakukan demi menyambut senyuman kesuksesan.

##@@##

Waktu semakin cepat berlalu. Tak terasa sudah satu bulan Hafil meninggalkan kami. Permainan yang biasa dilakukan di bawah kaki senja kini mulai pudar. Semuanya telah sibuk dengan urusannya masing-masing. Malthuf lebih sering membantu orang tuanya melaut. Firman dikabarkan juga merantau ke kota bersama keluarganya. Dan Ibar entah kemana aku pun tak tahu. Kini hanya tinggal aku seorang diri. Tetap istiqomah mengamati senja yang sebentar lagi akan tenggelam. Bersama si kulit bundar yang sudah mulai rusak di berbagai sisinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun