Lahan gambut adalah lahan yang memiliki unsur tanah yang termasuk kedalam golongan tanah gambut. Menurut Anwar dan Whitten (1984) tanah gambut sendiri merupakan jenis tanah basah yang terbentuk dari akumulasi sisa-sisa tumbuhan yang setengah membusuk, oleh sebab itu kandungan organiknya tinggi. Secara umum, pembentukan dan pematangan gambut berjalan melalui tiga proses, yaitu pematangan fisik, pematangan kimia dan pematangan biologi.
Kecepatan proses tersebut dipengaruhi oleh iklim, suhu, curah hujan dan mempunyai susunan bahan organik, aktivitas organisme, dan waktu (Andriesse, 1998). Adapun dalam sifatnya, gambut memiliki dua sifat, yaitu sifat fisik dan sifat kimia. Pada sifat fisik terdapat tingkat kematangan, warna, bobot jenis (Bulk Density/BD), kapasitas menahan air, kering tak balik (Hydrophobia Irreversible), daya hantar hidrolik, daya tumpu, penurunan permukaan tanah (Subsidence), dan mudah terbakar.
Sifat kimia dari tanah gambut meliputi kesuburan gambut dan faktor yang mempengaruhi kesuburan . Kandungan dalam tanah gambut meliputi kemasaman tanah dengan Ph 3-5 yang disebabkan oleh buruknya kondisi drainase dan hidrolisis asam-asam organik, yang didominasi oleh asam sulvat dan humat (Widjaja-Adhi, 1998; Rachim, 1995), kapasitas tukar kation (KTK) yang sangat tinggi, berkisar 100-300 me 100g-1 berdasarkan berat kering mutlak (Hartatik dan Suriadikarta, 2006), kadar asam-asam organik pada tanah gambut tropika mempunyai kandungan lignin yang didekomposisi dengan hasil asam organik, hara makro Nitrogen (N), Fosforus (P), Kalium (K) yang tinggi, dan hara makro seperti Kalium (K), Kalsium (Ca) , dan Magnesium (Mg).
Untuk pembentukan gambut di Indonesia diperkirakan sudah sejak zaman glasial akhir, sekitar 3.000-5.000 tahun lalu. Proses pembentukan gambut pedalaman bahkan lebih lama lagi, yaitu sekitar 10.000 tahun yang lalu. Seperti gambut tropis lainnya, gambut di Indonesia dibentuk oleh akumulasi residu vegetasi tropis yang kaya kandungan lignin dan selulosa (Murdiyarso dan Suryadiputra, 2004).
Selain itu, di Indonesia lahan gambut tersebar di 12 provinsi dengan luas kurang lebih 18.586 juta ha. Menurut data Badan Pusat Statistik  penyebaran tanah gambut yang paling luas terdapat di Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Secara keseluruhan lahan gambut di tiga pulau yang masih berupa hutan (mangrove, hutan rawa, dan tanaman) seluas 7.742.449 ha (52%) dan yang berupa semak belukar seluas 3.238.570 ha (21,7%).
Telah dimanfaatkan untuk perkebunan, pertanian (pangan dan hortikultura), sawah, dan permukiman luasnya berturut-turut 1.562.436 ha (10,5%), 780.333 ha (5,3%), 341.122 ha (2,3%) dan 64.752 ha (0,4%). Jika dilihat presentase pada pulau yang memiliki lahan gambut terbesar, intensitas lahan yang dijadikan sebagai lahan pertanian masih sangat kecil, sehingga hal ini perlu di evaluasi untuk perluasan pemanfaatan lahan gambut sebagai lahan pertanian.
Secara umum gambut memiliki kandungan unsur hara yang baik, karena memiliki kandungan unsur C dan N sangat tinggi. Sedangkan unsur P dan K sangat rendah. Kandungan unsur hara Nitrogen (N) yang sangat tingggi menyebabkan pertumbuhan vegetatif tanaman menjadi lebih baik dan juga dibutuhkan tanaman guna sintesis protein, namun secara struktural merupakan bagian dari klorofil.
Tanaman yang tumbuh harus memilki kandungan Nitrogen dalam membentuk sel-sel baru. Gambut juga merupakan habitat beranekaragam tanaman yang memiliki nilai ekonomi dan sangat bermanfaat bagi masyarakat, sehingga tanah gambut bisa dikatakan memiliki potensi yang tinggi untuk peningkatan produksi pertanian. Dari seluruh tanaman yang ada di lahan gambut terdapat beberapa diantaranya dibudidayakan secara intensif, non intensif, atau tumbuh secara liar di hutan.
Berdasarkan hasil penelitian mendalam di sejumlah lokasi gambut tropis, Driessen dan Sudewo (1976) telah mendeskripsikan puluhan jenis tanaman. Pengelompokan tersebut yaitu pangan, tanaman perkebunan, tanaman sayur, tanaman rempah, tanaman serat, tanaman buah dan tanaman lainnya. Terdapat produk hortikultura yang memilki nilai ekonomi yang cukup baik, maka dari itu hampir semua holtikultura semusim dataran rendah dapat dibudidayakan di lahan gambut.
Adapun sayuran dan buah yang banyak dibudidayakan petani pada lahan gambut meliputi kacang panjang, cabe, tomat, timun, bawang merah, labu, paria, bawang daun, caisim, semangka, nanas, dan melon. Jika melihat dari perbandingan potensi pemanfaatan lahan gambut untuk peningkatan ekspor komoditas pertanian, nanas merupakan komoditas yang mempunyai potensi peningkatan dari segi sifat komoditas yang cocok untuk tanah gambut dan  termasuk unggul dari segi kebutuhan pasar.
Nanas berasal dari Brasilia yang telah didomestikasi disana sebelum masa Columbus. Nanas mulai ditanam di Indonesia oleh Spanyol pada abad ke-15 (1599), pada mulanya  hanya sebagai tanaman pekarangan dan meluas dikebunkan dilahan kering di seluruh wilayah nusantara dan hingga kini dapat dikembangkan didaerah tropis dan subtropis. Sentra produksi nanas berada di Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Bali.
Nanas merupakan salah satu komoditas holtikultura yang berpotensi untuk dikembangkan secara baik pada lahan gambut dikarenakan tumbuh baik pada lahan gambut dangkal hingga dalam yang berdrainase baik, selain itu nanas juga relatif toleran terhadap Ph rendah. Keberhasilan budidaya nanas pada lahan gambut dapat dilihat di Pedamaran Timur, Kabupaten Ogan Komering Ilir, kebun yang dikelola oleh Badan Restorasi Gambut (BRG) di Desa Pagaruyung, Kecamatan Tapung, Kabupaten Kampar dan beberapa wilayah lahan gambut lainnya yang telah diuji coba.
Dalam pembudidayaan nya terdapat dua jenis, yaitu intensif dan non intensif. Nanas yang ditanam pada media tanah gambut memiliki keunggulan yang lebih jika dibandingkan dengan nanas yang ditanam pada media tanah lainnya. Keunggulan ini dapat dilihat dari segi rasa yang cendrung  dan ukuran buah yang lebih besar ini dibuktikan dengan analisis yang dilakukan di Desa Galang Kecamatan Sungai Pinyuh Kabupaten Pontianak dan Desa Sungai Pangkalan Kecamatan Sungai Raya Kabupaten Bengkayang. Nanas yang tumbuh dengan baik akan memiliki standar keunggulan yang baik pula dan nantinya akan meningkatkan daya konsumsi dari konsumen.
Alasan mengapa nanas menjadi salah satu komoditas yang mempunyai keunggulan dari segi kebutuhan pasar dapat dibuktikan dengan data ekspor. Badan Pusat Statistik mencatat bahwa pada tahun 2017 Â Indonesia mengekspor nanas sebesar 9.586 ton, pada tahun 2018 Indonesia mengekspor nanas sebanyak 11,247 ton.
Menurut data United Nations Commodity Trade Statistics Database (UN-COMMTRADE) pada tahun 2017 Indonesia telah mengekspor produk primer maupun produk olahan nanas sebanyak 9,586,908 Kg ke beberapa negara yang mengimpor nanas dalam jumlah banyak, antara lain Uni Emirat Arab, Korea, Jepang, Arab Saudi, Cina, Kwait dengan keuntungan sebesar $5,893,864.
Pada tahun 2018 Indonesia mengalami peningkatan dengan jumlah ekspor produk primer maupun olahan nanas sebanyak 13,366,454 Kg  ke negara yang sama seperti tahun 2017 dengan keuntungan sebesar $8,279,630. Artinya jika kita lihat dari data dalam kurun waktu selama 2 tahun berturut-turut (2017-2018) ekspor pada buah nanas mengalami kenaikan permintaan pasar secara signifikan.
Di dalam produksi nanas pada tanah gambut terdapat tantangan yang harus di awasi secara disiplin oleh pemerintah melalui lembaga penunjang yang bersangkutan untuk mengembangkan produktivitas nanas dengan peralatan (bibit,pupuk,dsb) guna pemanfaatan lahan gambut yang nantinya akan mencapai apa yang di cita-citakan.Â
Hal yang mesti diperhatikan secara khusus adalah proses drainase, karena lahan gambut mempunyai sifat fisik dan kimia yang penting untuk dipelajari sehubung penggunaan lahan gambut untuk pertanian. Proses drainase ditujukan untuk membuang kelebihan air (termasuk asam-asam organik), juga menyebabkan perubahan sifat-sifat lahan gambut sehingga menjadi lebih sesuai untuk pertumbuhan tanaman atau terjadi perubahan kelas kesesuaian lahan gambut yang secara aktual umumnya tergolong sesuai marginal.
Namun demikian drainase harus dilakukan secara terkendali, salah satunya untuk melindungi cadangan karbon lahan gambut yang demikian besar. Agar pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian tidak berdampak buruk terhadap lingkungan, maka pemanfaatannya harus hati-hati melalui pengelolaan yang berwawasan lingkungan (Marlinanasari, 2018 ).
Tentunya intensitas cahaya matahari tidak bisa kita alihkan, satu-satunya cara merawat dan memperkecil resiko tanah gambut untuk tidak terbakar yaitu dengan cara pemanfaatan lahan gambut sebagai wadah produktivitas yang tinggi untuk nanas yang nantikan akan dapat berkontribusi dalam meningkatkan nilai ekspor nanas dari Indonesia, tentunya dengan sistem yang dijalankan secara positif baik secara perlakuan maupun proses yang membantu dalam kegiatan budidaya untuk hasil nanas yang memuaskan.
Tentunya ini peluang yang mesti kita tingkatkan. Hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa nanas yang ditanam di lahan gambut menjadi komoditas unggulan untuk di ekspor, baik dalam bentuk produk primer ataupun sekunder ke negara konsumen, maka sudah bisa dipastikan bahwa permintaan nanas di pasar semakin bertambah dan pertanian Indonesia akan lebih maju.
Solusinya adalah dengan cara pemanfaatan lahan gambut untuk produktivitas nanas yang memilki dua fungsi, yaitu pertama untuk mencegah kebakaran lahan gambut dan  kedua  meningkatkan pendapatan negara dengan produk pertanian berkualitas untuk di ekspor.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H