Sehingga tidak gampang sambat, atau mengaduh. Ini juga ditemukan pada anak-anak yang secara umum memiliki religiusitas yang cukup. Jikapun ada tekanan terhadapnya, anak-anak seperti ini cenderung akan memperkuat ibadahnya, untuk memperkuat hatinya. Demikian juga anak-anak yang dikategorikan anak-anak dominan, yang terkadang sering kali melakukan tekanan terhadap anak-anak yang cenderung diam, atau tidak percaya diri. Anak-anak yang memiliki jiwa ini juga jika memiliki religiusitas yang cukup cenderung lebih mudah mengontrol diri dalam melakukan dominasi terhadap anak-anak lain.
Dengan demikian, semakin cukup dalam menempuh pondasi keagamaan yang utuh (religiusitas yang memadai), anak-anak akan terbekali mentalnya dengan seimbang, disaat menjadi bintang kelas dimungkinkan tidak memiliki jiwa sombong atau cenderung mengintervensi teman-teman lainnya, sebaliknya apablia terisolir dikelas, anak-anak dengan mental religiusitas yang cukup relative lebih sabar, dan akan membelokkan energi penolakannya dengan meningkatkan pendekatan diri pada Tuhan melalui ibadah-ibadah yang sudah dituntunkan kepadanya.
Regulasi Pemerintah; pilar ini bisa produk - produk perundang-undangan, aparatnya atau bahkan Lembaga sekolah dan jenjang-jenjang diatasnya. Disaat ini, kalua kita menelaah tayangan-tayangan ditelevisi nasional maupaun tv berbayar, porsi tayangan untuk pendidikan relative kurang, jika dibandingkan dengan tayangan-tayangan hiburan. Tayangan-tayangan hiburan lebih kepada hedonis, memuja kemewahan. Sebagai salah satu contoh saja, tayangan kuliner disalah satu televisi nasional, tentang kuliner. Jika dimasa lalu, tayangan kuliner lengkap mengeksplor bahan apa saja yang dibuat lengkap dengan takarannya, cara masaknya lalu dinikmati.Â
Sekarang cukup datangi waraungnya, ditunjukkan harganya lalu dinikmati, kemudian dikasih nilai. Yang diawal menawarkan edukasi berproduksi, sedangkan yang terakhir menawarkan hidup konsumtif. Demikian juga tayangan sinetron atau drama tentang anak-anak remaja. Selalu dihadirkan tokoh antagonis dan tokoh protagonist, dengan segala intriks yang ada didalamnya. Seakan Lembaga Sensor siaran tidak memiliki fungsi, untuk menyeleksi tayangan-tayangan ini sebelum beredar.
Beberapa Lembaga ditingkat bawah juga seakan kehilangan makna Pendidikan itu sendiri. Kebanggan sekolah mendapatkan prestasi akademik dengan sertifikat yang bertumpuk-tumpuk dari salah satu siswa seakan melupakan ratusan siswa lainnya dalam sekolah tersebut untuk dimotivasi dan diarahkan.Â
Meminjam pernyataan Dr. Ninik Kristiani, M.Pd, Pengawas Sekolah di Malang pada Januari 2023 pada diklat Pendidikan di salah satu Sekolah Menengah Atas di Ponorogo, menyampaikan bahwa, dari 1000 sekian anak didik kita di sekolah, berapa siswa yang berhasil mendapatkan prestasi kejuaraan, coba dihitung prosentasenya, tentu masih lebih kecil. Apa sebabnya ? Karena kita sebagai lembaga, hanya mengukur bahwa prestasi siswa didapatkan dari kejuaraan yang diikuti.
Kita saat ini mungkin masih terkesan dengan guru-guru TK kita disekolah, kenapa demikian? Bisa jadi suasana yang menyenangkan dalam pembelajaran, atau belum banyak pikiran, karena semakin kecil umur tentu semakin sedikit beban hidup. Mungkin ada satu hal yang lupa kita ingat, di TK itu, semua anak sekelas mendapat piala semua. Â Kenapa begitu, karena sekolah kita sadar betul, jangan sampai kegiatan perlombaan tersebut sampai menjatuhkan moral anak-anak didikn.Â
Masa emas yang dijalani anak-anak itu harus dijaga agar jangan sampai patah, dan menjadi titik poin mereka menjadi pecundang. Sekolah tersebut berusaha sebisa mungkin menghadirkan sejumlah jenis-jenis perlombaan yang mengakomodir semua bakat minat yang dimiliki murid-murid tersebut.
Mengakhiri tulisan sesi ini, bahwa Bullying memang merupakan pekerjaan rumah bagi dunia Pendidikan dengan segala pilar yang menjadi penyokongnya. Orang tua perlu menyiapkan mental yang cukup bagi anak-anaknya, menyadari sepenuhnya bahwa, orangtua bukanlah pelayan anak-anaknya tapi perlu mengenalkan tantangan-tantangan diluar sana bagi anak-anaknya untuk dihadapi, bukan memindahkan tantangan itu atau mengusir tantangan-tantangan itu, atau bahkan menjadi tameng agar anak-anaknya tidak menghadapinya.
Guru-guru disekolah, perlu memiliki kacamata yang banyak, telinga yang berlipat, untuk mendeteksi murid-muridnya dengan segala potensi yang dimiliki, menyediakan jempol yang banyak, jangan pernah terjadi satu diangkat satu dijatuhkan. Tidak perlu ada salah dan benar saat mendampingi murid-murid kita. Tanamkan kebersamaan, saling menghargai diantara mereka. Dengan sendirinya dimasa dewasa nanti, mereka akan tahu sendiri mana salah dan mana benar dari nurani mereka sendiri, tanpa harus menunjuk orang lain salah dan menjatuhkannya.
Sekolah perlu memiliki media ektra kurikuler yang banyak, atau perkumpulan hoby-kesukaan, yang dibimbing oleh guru-guru kreatif, agar energi siswa untuk jahil menjahili atau sebaliknya siswa yang stagnan terisolir menjadi tersalurkan. Tak kalah penting membekali dan membiasakan murid untuk menjalani religisiusitas yang rutin kepada murid-murid kita. Belajar adalah pembiasaan, jika sudah menjadi pembiasaan, maka akan lahir karakter. Detilnya sebagaimana ulasan dari Afid Burhanuddin dalam blognya https://afidburhanuddin.wordpress.com/2015/01/17/tahapan-pembentukan-karakter/