Dikutip dari  sini.Â
Dalam kondisi ini, marilah kita mempersepsikan diri, bahwa tidak selamanya kita akan mendampingi anak-anak kita sampai mereka dewasa, mungkin saja saat anak-anak kita beranjak dewasa, kita sudah meninggalkannya. Atau bahkan saat anak-anak dewasa, meninggalkan kita. Kita perlu memastikan bahwa anak-anak kita, tumbuh selayaknya anak-anak lainnya, kalaulah bertengkar, berselisih paham dengan temannya, marilah kita menahan diri untuk tidak intervensi, biar mereka mencoba menyelesaikan baik-baik pertengkaran mereka.Â
Agar berlatih mandiri, menyelesaikan masalah sendiri, kita cukup memantau caranya menyelesaikannya dengan hal positif. Bolehlah kita memberikan alternatif-alternatif pilihan yang dapat dipilih untuk menyelesaikannya. Kalaulah kita memiliki kekhawatiran akan anak-anak kita, cukuplah kita titip sama orang-orang disekitarnya, tanpa melakukan intervensi bahkan intimidasi terhadap lawan anak-anak kita. Selebihnya, banyak tips-tips mendidik dan mendampingi anak-anak kita di youtube, facebook, tiktok dan banyak media-media lain yang memberikan konsep-konsep positif tentang mendidik dan mempersiapkan anak-anak bagi orangtuanya.
Terlebih dikitab suci agama, tentu lebih banyak lagi, termasuk amalan-amalan yang harus dilakukan agar anak-anak kita menjadi generasi yang lebih baik dari kita. Untuk itu, perlulah kita mencoba mendamaikan ego kita atas anak-anak kita beserta permasalahan mereka. Tidak harus diselesaikan menurut obsesi kita.
Orang tua di sekolah (guru-guru); Termasuk oto kritik ini. Mari kita biasakan mendengar dari dua arah. Dan janganlah menempatkan diri kita sebagai sumber hukum. Mungkin kita tidak lebih tahu, karena yang kita hadapi bukanlah anak-anak yang dulu hidupnya bareng dengan kita. Zamannya berbeda. Perlulah sekali-kali kita duduk untuk sejajar dengan mereka, sisakan ruang pendengaran kita untuk mereka. Nikmati celotehan-celotehan mereka.
Yakini bahwa teori-teori, pengertian-pengertian yang akan kita terangkan dikelas, dengan sekali klik mereka bisa membuka di Gawai mereka. Kita cukup memotivasi mereka agar mereka terpancing untuk membuka dan menemukan materi yang akan kita sampaikan. Selanjutnya kita cukup berbagi pengalaman, bagaimana tips mengerjakan lebih cepat atau kunci-kuncinya, dan membuka ruang jikalau ternyata diantara mereka ada yang lebih simple lagi memiliki tips-tipsnya.
Ini juga berlaku dalam pergaulan-pergaulan yang dijalani oleh mereka. Apalagi disaat kita menatap mereka (murid-murid kita), bahwa dibelakangnya ada orangtua-orangtua yang notabene tidak seideal seperti tulisan diatas. Baik buruk, benar salah, bahkan maaf, aturan hukum pun, terkadang dipersepikan berbeda-beda tergantung pembaca dan kepentingannya. Disaat ada kejadian yang dipersepsikan sebagai bullying, tenang dulu, tidak perlu harus bertindak dengan poin-poin pelanggaran, dan seabreg ancaman-ancaman skorsing, pengembalian kepada orangtua atau bahkan diserahkan kepada pihak berwajib.Â
Mendengarkan dulu persepsi masing-masing, lalu kita telaah, mana jiwa yang lebih kuat. Jiwa yang lebih kuat dan tidak emosional ini, kita tantang untuk lebih dewasa lagi dengan menjadi manusia-manusia bijak, datangi dan sampaikan bentuk sayangnya dengan merengkuh yang dipersepsikan sebagai korban, hadirkan teman-temannya yang lain, sebagai pihak-pihak yang netral yang nantinya bisa menjadi penyeimbang bagi kelangsungan hubungan persahabatan selanjutnya.
Anak-anak (murid-murid); mereka inilah sebenarnya pangkal dari perspektif bullying. Dikutip dari https://doktersehat.com/informasi/kesehatan-umum/bullying/, bahwa bullying berasal dari kata bully, yang dalam kamus Oxford diartikan sebagai seseorang yang terbiasa berusaha untuk menyakiti atau mengintimidasi mereka yang mereka anggap rentan.Â
Dapat diartikan juga sebagai perilaku intimidasi. Dilansir dari bullying.co.uk, bullying biasanya didefinisikan sebagai perilaku berulang yang dimaksudkan untuk melukai seseorang baik secara emosional maupun fisik, bully sering ditujukan pada orang tertentu karena ras, agama, jenis kelamin, orientasi seksual, penampilan, hingga kondisi fisik seseorang.
Anak-anak (murid) yang sudah terbiasa dengan candaan, cenderung lebih kuat dalam menghadapi candaan yang relative kasar sekalipun, dibandingkan dengan anak-anak (murid) yang sejak dini terbiasa dengan protektif, yang relative banyak selalu terkondisikan dan termudahkan oleh keadaan lingkungan yang serba ada, serba mudah selalu tercukupi apa yang menjadi keinginannya, alias dimanjakan. Anak-anak sudah dibiasakan berfikir sebelum bertindak, bertanggungjawab atas tindakannya, biasanya cenderung lebih dewasa dalam situasi tekanan yang diterima.Â