”Kota segede ini memang terlihat kayak dedemit, monster.”
Seekor cecak jatuh. Percakapan terhenti. Entah kenapa.
Kejadian tak kalah seru juga terjadi di sebuah kafe modern penuh kaca, di lantai dua sebuah gedung, 30 meter dari kejadian.
Hampir setengah pengunjung kafe melompat saat terdengar suara keras tubrukan, untuk menonton apa yang terjadi dari balik kaca rayban kafe itu. Seseorang yang tetap duduk namun dapat mengintip di sela-sela badan, justru merilekskan tubuhnya, menelekan punggung ke kursi dan sambil menghisap rokok mildnya.
”Di detik yang sama di negeri ini mungkin ada sepuluh kejadian serupa kecelakaan di luar itu. Mungkin ribuan di semua kota dunia. Kenapa masih gatel menontonnya? Kurang kerjaan!” katanya ketus, seperti pada diri sendiri.
”Kalau kita tidak bisa atau tidak sempat ikut menolong, setidaknya kan bisa bersimpati. Untuk itu kita perlu tahu dengan jelas peristiwanya.” Pengunjung lain, dengan dasi yang disampirkan di pundak, melirik tajam orang di kursi.
”Apa bedanya simpati pada tontonan di balik kaca ini dengan tontonan di layar kaca TV? Simpati saja tampaknya tidak cukup. Karena ini bukan fiksi. Kalau mampu, kenapa tidak berbuat?” Satu anak muda dengan rambut acak menggerung, lalu segera meninggalkan kaca rayban itu, menuruni tangga, dan keluar.
”Anak itu ngapain sih? Mau jadi hero? Jangan-jangan dia yang terlalu diracuni Rambo atau Bollywood. Kesiangan. Makanya sering bangun pagi.” Dengan tubuh agak lunglai, seorang wanita 30-an awal kembali ke kursi, di sisi kiri lelaki dengan mild tadi.
”Kalau anak muda itu pahlawan kesiangan, lalu kamu apa? Kamu kerja apa gak berlagak jadi pahlawan bagi keluarga?” Kali ini seorang pekerja yang tampak senior, berbalik dari kaca dan menghadap wanita yang tampaknya teman sekerja.
”Masak bekerja saja dianggap pahlawan, sih? Aku kerja ya kerja saja, sekadar sebagai kebutuhan alamiah. Seperti tidur atau buang air,” wanita itu coba menyanggah sambil meraih gelas tehnya.
”Tak ada yang alamiah, ketika ia sudah menjadi ilmiah. Semua sudah artifisial. Buang air pun sekarang menjadi komoditas,” seorang anak muda yang dahinya rajin berpikir, seperti bergumam, bersender di kaca membiarkan peristiwa di jalan terus berlangsung di baliknya.