Seorang anak muda, baru tiga bulan menjadi sales executive distributor peralatan elektronik rumah tangga, memasuki sebuah warung yang menjual kopi dan seduhan mi instan, 15 meter dari halte. Ia meminjam lap dan sebotol air bersih. Lima pengunjung warung menatapnya seperti adegan suspence sebuah film Bollywood. Lelaki setengah tua dengan peci sedikit kucal coba menahannya.
”Ada yang mati, mas?” tanya si peci.
”Kurang tahu,” jawab pemuda itu ringkas.
”Supirnya, kabur?” sela pemuda berkaus ”barcelona” di ujung kursi.
”Bagaimana kabur? Nyawanya masih ada apa nggak juga belum jelas.”
”Barcelona” menggeleng kepala. ”Hari kalau celaka bukan sakitnya yang membuat pedih, tapi ongkos berobatnya.” Entah keluh, kesal atau frustrasi, ”barcelona” monyongkan bibir untuk menghirup kopi sampai ampasnya.
”Semua gara-gara motor kelewat banyak,” sambung seorang tua yang nongkrong di pojokan, ”karenanya mereka saling salip, rebutan ruang yang makin ciut. Sama saja dengan ruang di warung ini, yang tambah sesek sama ocehan.”
”Bukan salah motor. Tapi kakek goblok yang nyeberang seenaknya,” si peci coba mencoba menyanggah.
”Tapi kalau angkot nggak ugal-ugalan, kecelakaan nggak hebat begini.” Kali ini seorang pemuda tiga puluhan, tampaknya tukang kredit, memberi tanggapan.
”Yang keterlaluan ya pengemudi sedan mahal itu. Dia kurang cepet ngerem sampai pengendara motor hancur kepalanya kelindes,” sambung yang lain.
”Semua salah! Semua ini gara-gara polisi nggak kerja. Pemerintah nganggur,” seorang pemuda seakan menggeram untuk dirinya sendiri.