-Musuh Kita bukan lagi Penjajahan, Kapitalisme Negara, Atau Masalah Asing dan Aseng. Musuh kita adalah Kerakusan Individual Manusia-
Perjalan ku menuju rumah teman ku kemarin, memberikan ku siraman warna Ramadhan yang sedikit berbeda dari Ramadhan-ramadhan sebelumnya.
Bermula dari perjumpaan ku dengan seorang laki-laki. Pada saat ku berjalan di Trotoar yang biasa ku lalui menuju rumah Sahabat ku ini. Aku ternyuh melihat seorang laki-laki berparas tua, kurus, pucat, dan ia kesakitan memegang perut nya, duduk di samping jajaran toko yang tutup karena sudah malam.
Rasa sayu ku pun muncul, lantas ku beranikan diri untuk bertanya ke lelaki tua itu. "Pak! Bapak terlihat pucat, apa yang terjadi? dan kenapa bapak memegangi perut bapak?" tanya ku.
"Saya belum makan dek, sejak dua hari yang lalu" jawab nya.
"Lailahailllah!" sahutku dalam hati. Tak berpikir panjang, ku langsung mencari warung terdekat, Â dan membelikan roti untuk nya, serta memberikan beberpa uang yang ada disaku ku, dan ku bantu semampu ku.
Ku lanjutkan perjalanan ku ke rumah teman ku. Tujuan ku kali ini ke rumah teman ku, Nabil. Seperti kebiasan tahun-tahun sebelumnya yang ku lakukan dengan teman-teman, berkumpul menyambut kedatangan bulan suci Ramdhan, makan bersama, Dll. Mungkin kalau di istilah kalangan orang sunda lebih di kenal dengan istilah "cucurak".
Lantas dengan kejadian itu, aku agak sedikit telat menghadiri acara di rumah teman ku. Teman ku yang satu ini termasuk orang yang cukup berada, oleh karena itu dia mengundangku untuk mengadakan cucurak di rumah nya.
Sesampainya ku di rumah teman ku. Aku terkejut, melihat temanku berbaring kesakitan di kasur nya, dia memegangi perutnya. Tampak rasa sakit yang ia rasakan sama dengan laki-laki tua yang ku temui di jalan. Pucat mukanya pun sama.
"Bil! Apa yang terjadi? Kenapa dengan kamu?" ujar ku, dengan penuh iba.
"Perut ku sakit, nto" jawabnya sambil meringuh kesakitan.
"kamu belum makan bil?" tanya ku dengan penuh rasa keingin tahuan ku. Karena tak mungkin, orang sekelas Nabil belum makan, minimal Ayam siap saji akan jadi menunya. Â
"Aku Kekenyangan nto. Tadi aku abis dari restoran Matsuri yang besar itu, dan makanan disana enak-enak, jadi aku pesan semua makanan yang ada di restoran sana. Hitung-hitung sebelum besok puasa. baru saja ku habiskan semuanya, kamu telat sih" jawabnya dengan Nada sinis dan lemas.
"Ya Rabbb! Ya Kariimmmm!!" teriakku dalam batin.
Dia rela membuang-buang harta dan makanan, yang padahal bisa bermanfaat bagi sesamanya.
Tak heran jika orang bijak dulu beradagium "Kenyang nya orang kaya adalah ujian bagi yang Faqir".
_________________________________________________
Ya Tuhannn!
Langit mu tak pernah kikir akan Airnya. Dan bumi tak pernah Bakhil atas Tumbuh/tumbuhan yang ada di atasnya. Dan Lautan tak pernah sekakar pun dengan ikan-ikannya. Semuanya untuk manusia, lalu kenapa ada manusia yang bersingkat tangan bertangkai kering seperti ini?
Andai si Nabil teman kaya ku ini atau orang lain yang kurang lebih sama seperti dia mau berbaik hati memberikan sedikit cercah kekayaan yang ia miliki, sesuap makanan yang dia santap, dan segelas minuman yang ia teguk. Mungkin tak akan ku temukan orang yang meringkuh kesakitan karena rasa lapar.
Entah enggan atau karena keserakahan, manusia yang kaya akan terus dengan kekayaannya. Tenang merasakan nikmatnya tidur nyenyak di kasur kasur empuk tanpa memikirkan mereka yang meringkik kesakitan di jalanan.
Apakah ini karena putusnya urat nadi rasa atau karena kapitalisme nafsu manusia sudah menjadi wabah bagi manusia menjadi jemawa dan serakah?
Terlebih lagi kalau kita perhatikan bulan Ramadhan. Di bulan ramadhan ini, makanan manusia yang terbuang meningkat, ratusan ton makanan di beberapa tempat terbuang dan sampah makanan bertambah beberapa persen.
Mengutip hasil penelitian Foodstainability.eiu.com  indonesia menepati urutan kedua negara penghasil sampah terbesar di Dunia.
Kalau kita sadari, musuh manusia bukan lagi kapitalisme negara atau siapa yang angkat senjata ke kita, akan tetapi musuh kita adalah keserakahan diri sendiri, Â mata sosial yang tertutup dan Tak peduli dengan sesama tanpa saling merasai.
Semoga Kita Diberikan Rasa saling merasai keandaan antar sesama.
Khoirul Ibad.
Menunggu Dhuha, Maroko. 1-Ramadhan-1440 H.
*cerita adalah serapan dari buku "An-Nazhaarat" karangan syeikh Mushtafa Lutfi Al-manfaluthy Al-Mishry
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H