"Rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau".
Peribahasa yang populer untuk mengartikan adanya dorongan ketertarikan seseorang ketika melihat lawan jenis selain pasangan resmi (sah) nya.Â
Mari kita ambil contoh scope yang marak terjadi yaitu, di tempat kerja.
Pergaulan hubungan sesama rekan kerja di kantor, mau tidak mau mengharuskan setiap karyawan untuk mampu membaur secara profesional dan sosial.
Bergaul profesional berarti mampu bekerja sama baik dalam ruang lingkup departemen maupun lintas divisi, sebagai upaya mengembangkan dan meningkatkan kinerja karyawan.
Sedangkan pergaulan sosial yakni sesama individu mampu saling berinteraksi secara baik, dengan menciptakan hubungan yang harmonis dan bersifat humanis.
Dalam rentang waktu menjalin hubungan profesional sekaligus sosial, ada kondisi yang menyebabkan hubungan menjadi sangat intens interaksinya, sehingga bisa menyebabkan benih-benih terlarang tumbuh diantara lawan jenis.
Lalu, apa saja yang menyebabkan Cinlok terlarang dapat mudah terjadi ?
Pola Mindset yang Keliru
Adanya anggapan semakin banyak bisa menaklukkan lawan jenis, semakin hebat. Come on, you're not special !
Bagi yang sudah menikah, berselingkuh menunjukkan kelemahan diri sendiri.Â
Sedangkan untuk yang lajang bisa menggaet orang yang sudah menikah, menunjukkan rendahnya harga diri.
Â
Perlu penerapan pola berfikir yang kuat dalam diri bahwa datang ke kantor adalah semata untuk bekerja, bukan ajang menjadi idola.
Salfok dengan Rumput Tetangga
Orang yang lebih suka menikmati fatamorgana adalah orang yang tidak bisa mensyukuri yang ada didepan mata.
Mata yang silau melihat ke seberang akan "keindahan" orang lain dibandingkan keindahan pasangannya adalah tipe orang yang sangat suka membanding-bandingkan sesuatu.
Bagaimana tidak ? jika saja seorang suami atau istri hanya menganggap pasangannya-lah yang Terbaik dalam segala hal, tentu melihat orang lain pun terasa biasa saja baginya. Tidak terbersit keinginan dalam hatinya meski sekadar membandingkan.
Lemahnya Komitmen Pernikahan
Menikah layaknya ajang perlombaan lari menuju garis finish. Melihat teman sebaya yang sudah banyak menikah, gunjingan pertanyaan kapan nikah, ketakutan akan kesepian, dan sebagainya.
Padahal, menikah bukan akhir pencapaian keberhasilan dan kebahagiaan hidup seseorang.Â
Bila belum mampu memahami apa itu tujuan pernikahan dan mental pun belum siap, maka jangan korbankan kehidupan kita di dunia ini dengan berdasarkan tekanan penilaian orang lain.
Menikah-lah bila sudah selesai dengan diri kita sendiri.
Yaitu, sudah mampu mengendalikan ego pribadi. Hidup sudah tidak untuk memuaskan keinginan pribadi, tetapi keinginan hidup berbahagia dengan senantiasa memberi dan mengabdi.
Tujuan utama dan pertamanya tidak mencari pengakuan manusia, tetapi lebih ingin mendekatkan diri kepada Sang Khalik.
Bergaul Tanpa Ada Batasan
Keakraban diluar konteks pekerjaan dengan sesama rekan kerja, seperti menjadi teman bicara, saling melontarkan candaan yang kadang out of control, sebatas tidak melanggar batas-batas (rasis, pelecehan seksual, bullying) saya rasa masih dalam taraf wajar.
Karena upaya membangun budaya lingkungan kerja yang bersifat kekeluargaan, kita mesti mengurangi sekat-sekat gaya komunikasi baku.
Saling peduli dan perhatian antar sesama itu perlu untuk menumbuhkan rasa empati.
"Garis batas menentukan dengan siapa kita membuka hati, dan dengan siapa kita menutup diri". (Agustinus Wibowo).
Hakikatnya, manusia adalah makhluk yang lemah akan berbagai macam godaan.Â
Oleh sebab itu, selingkuh bisa terjadi pada siapa saja, kapan saja, dan dimana saja. Namun, tergantung seberapa kuat jenis benteng yang dipakai untuk pertahanan diri sendiri.Â
Dan...itulah yang akan menentukan kualitas diri kita!.Â
[S K Y]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H