Mohon tunggu...
Siti Khoiriah Yasin
Siti Khoiriah Yasin Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance Writer

Di atas Langit, masih ada Langit.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bangsa Indonesia Sudah Maju Belum, Sih?

21 Agustus 2020   00:14 Diperbarui: 22 Agustus 2020   17:30 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pesawat N250/sumber foto : kompas.com

"Di tahun 1995, Indonesia berhasil membuat dunia penerbangan berdecak kagum. Apa pasal ?  sebuah karya genius dari Bapak Prof. DR. B.J. Habibie yang menorehkan prestasi membanggakan untuk negara Indonesia yaitu Pesawat Gatot Kaca N250. Pesawat turboprop yang menggunakan teknologi paling mutakhir kala itu. Secercah cahaya terang akan sebuah masa depan".

75 tahun silam, seluruh rakyat Indonesia segenap bersuka cita. Sebuah gambaran kebahagiaan seiring telah dipastikannya hak hidup bagi rakyat Indonesia merdeka dari belenggu penjajahan bangsa Belanda dan Jepang.

Namun, kini Bangsa Indonesia harus mendengar kabar yang tidak menggembirakan. Pesawat canggih yang pernah dibuat anak bangsa, kini resmi sudah harus masuk ke sebuah ruangan yang bernama Museum. Antara ironi yang lumayan tragis untuk ulang tahun yang ke-75, yang bercita-cita menjadi Indonesia maju.

Sebagai rakyat yang saat ini tinggal enak menikmati jerih payah para pahlawan, sudah semestinya rasa syukur dan terima kasih bisa kita persembahkan melalui karya dan prestasi yang menuju kepada kemajuan.

Begitu pun dengan sikap dan perilaku yang senantiasa mengimplementasikan nilai-nilai dari kebhinekaan yaitu kesatuan dalam kemajemukan.

Menjaga persatuan dalam keanekaragaman seperti suku, ras, agama dan budaya menjadi kewajiban kita saat ini hingga seterusnya sebagai wujud bakti kita kepada negeri tercinta.

Sebagaimana orasi yang telah dideklarasikan oleh sang proklamator Indonesia Ir. Soekarno, 

"Negeri ini, Republik Indonesia. Bukan milik suatu golongan, bukan milik suatu agama, bukan milik suatu kelompok etnis, bukan juga milik suatu adat-istiadat tertentu, tapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke!."

Harapan seakan berbanding terbalik dari kenyataan. Peristiwa demi peristiwa yang terjadi menjelang hari ulang tahun Indonesia, seakan justru memberikan “kado” terburuk bagi ibu pertiwi.

Intoleransi Tradisi Budaya Keagamaan

Aksi penyerangan yang dilakukan sejumlah orang yang tergabung dalam kelompok laskar, terjadi di Kampung Metodranan Semanggi, Pasar Kliwon Solo, Jateng, pada hari Sabtu malam (8/8/20).

Peristiwa tersebut menyerang keluarga Habib Umar Assegaf yang sedang mengadakan salah satu tradisi adat jawa yaitu midodareni, dengan melakukan doa bersama sebelum pernikahan.

Saat acara sedang berlangsung, mendadak muncul puluhan orang yang mendatangi lokasi tersebut yang kemudian melakukan aksi penganiayaan, pengeroyokan serta pengerusakan.

Apa sebab kelompok tersebut melakukan penyerangan ? Disinyalir, motif kelompok anarkis itu menganggap ritual doa yang dilakukan merupakan bagian ajaran syi’ah yang dianggap sesat dari ajaran agama Islam. Sebuah tindakan yang sangat mencederai nilai persatuan dari kemajemukan Bangsa Indonesia.

Senada dengan pesan yang disampaikan Bapak Presiden Jokowi dalam pidato kenegaraan untuk sidang tahunan di Gedung MPR pada hari Jumat lalu (14/8/20); "Jangan ada yang merasa paling agamis sendiri. Jangan ada yang merasa paling Pancasilais sendiri," ujarnya.

Simbol Agama dan Etnis

Di saat dunia bersiap menyambut tantangan abad ke-22, bangsa ini terjebak dengan masih saja meributkan kepada simbol-simbol agama, tradisi suku, status kelompok atau golongan tertentu. 

Maraknya suara yang memprotes simbol salib pada logo HUT RI, kembali mengusik perbedaan pendapat dari berbagai kubu. Namun sayangnya perbedaan tersebut hanyalah menimbulkan perdebatan kusir yang kosong dari manfaat.

Mengapa ? Sebab memprotes sesuatu hanya berdasarkan imajinasi semu belaka atau cocoklogi yaitu berusaha mencocok-cocokan meskipun fakta dan datanya jauh dari realita. Biasanya penganut fenomena cocoklogi ini adalah kaum fanatis.

Logo tersebut merupakan dekonstruksi dari bagian-bagian desain dari Supergraphic. Pada tiap-tiap bentuk desain memiliki kandungan makna tersendiri. Ringkasnya, pembuatan logo tersebut memiliki argumen keilmuan yang dapat dipertanggung jawabkan.

Penilaian yang dilakukan oleh pihak-pihak yang menggunakan hanya dari cara pandang penglihatan dengan mencoba memirip-miripkan pada simbol salib.

Mayoritas secara kuantitas jumlah pengikut agama, bukan berarti bisa bertindak semena-mena dengan merasa lebih superior terhadap agama lainnya.

Ditambah lagi mengenai adanya prasangka negatif berbau rasis pada uang kertas baru pecahan nominal Rp. 75.000. Beranggapan uang kertas tersebut menampilkan anak kecil bermata sipit memakai pakaian adat tionghoa.

Faktanya, itu adalah baju adat Suku Tidung yang merupakan baju adat asli Provinsi Kalimantan Utara.

Adakah argumen yang mendukung semua prasangka tersebut ? apa hanya dirasa dan dikira-kira saja ? Jika itu terjadi, maka sebuah era kemunduran bagi bangsa ini bila metode berfikirnya tidak memiliki landasan yang rasional dan ilmiah.

Dengan kata lain, semua anggapan tersebut dapat dikatakan tidak memiliki argumentasi berdasar. Apalagi jika penilaian hanya berdasarkan karena ketidaksukaan terhadap simbol agama atau etnis tertentu.

Kita ribut mempersoalkan kulit daripada isi, sibuk dengan berbagai macam atribut daripada esensi.

Gerakan Ideologi Khilafah

Meskipun organisasi HTI telah resmi dibubarkan oleh Pemerintah Indonesia, namun isu mengusung sistem khilafah masih terdengar gaung-nya.

Patut kita waspadai bersama dengan berbagai macam propaganda yang masih dilakukan oleh sekelompok orang untuk menanamkan ideologi khilafah di negara demokratis ini.

Suatu gerakan yang sangat jelas ingin menghancurkan ideologi negara Indonesia yang berdasarkan asas pancasila dengan menjadi negara yang hanya memberlakukan syariat Islam.

Secara de facto dan de jure Indonesia menganut agama kepercayaan yang terdiri dari agama Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu.

Negara ini dibangun atas kesepakatan bersama dari hasil perjuangan yang telah melibatkan semua elemen bangsa. Maka, seyogyanya-lah eksistensi keenam agama tersebut diperlakukan sama secara adil dengan saling menghormati dan menghargai, dalam upaya menjaga kerukunan kehidupan antar umat beragama.

Menyoal Perayaan HUT RI yang ke-75 tahun yang mengusung tagline "Indonesia Maju". Sudahkah kita resapi makna kemerdekaan itu tersebut dengan sebuah pertanyaan, apakah Indonesia sudah melesat maju ke masa depan ?

Semakin bertambahnya usia bangsa ini, diharapkan pola pikir, sikap, perilaku, dan tindakan senantiasa merefleksikan mengikuti arus perkembangan kemajuan dunia.

Kekayaan yang dimiliki Bangsa Indonesia yang tidak hanya sumber alamnya, tetapi juga kekayaan intelektual rakyatnya. Sebagaimana bukti nyata (Almarhum B.J. Habibie). 

Generasi anak Indonesia sekarang pun banyak yang punya inteletualitas tinggi, hanya saja belum banyak kesempatan unjuk kemampuan di kancah global.

Semoga bangsa ini tidak melulu menghabiskan energinya pada persoalan yang tidak substantif, melainkan berorientasi pada cita-cita besar, yaitu bagaimana agar tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdaulat dan maju.

[S K Y]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun