Mohon tunggu...
Khofifah Indar PDF
Khofifah Indar PDF Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Wisata

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sang Pelita Di Tengah Badai

21 Januari 2025   16:35 Diperbarui: 21 Januari 2025   16:46 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pondok kumuh itu bukan lagi seperti pondok,namun berganti menjadi derita bagi keluarga keci Putri,ibu meninggal ketika melahirkan Fitri adikku,semenjak kepergian ibu aku memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA,ayah mulai sakit-sakitan sehingga tidak bisa bekerja lagi,aku menghilangkan ego walau terkadang hati masih tak rela,berjalan menyusuri kerasnya kehidupan,tak kenal panas,hujan.

aku bekerja sebagai buruh pencuci piring di salah satu warung nasi milik bibiku,saudara dari ibu ku,meski seperti itu,bibi tidak melihat kami dan ayah dengan kasih sayang,aku bekerja seperti orang lain,mendapat upah sesuai dengan kinerjaku,kadang kala aku tak mendapatkan upah saat melakukan kesalahan,maka bibi takkan membayarku,kadang kala upahku ganti dengan 3 bungkus nasi untuk ayah,Fitri dan Tio,

Sebagai kerja sampingan aku menjual kerupuk milik orang lain,berlarian menuju jalan raya ketika mobil" mewah berhenti,disitulah aku beraksi untuk sesuap nasi,

Kadang aku di usir,pernah juga di sirami air teh panas hanya karna melihat penampilanku yang lusu,hmereka jijik sehingga memperlakukanku tak selayaknya manusia.

Ibu..

Andai sajah engkau masih disini,berada di samping kami,mendampingi kami berjuang melawan kerasnya dunia,hampa duniaku,pilu terasa semenjak kau pergi meninggalkan dunia ini,aku sudah mulai kehilangan duniaku,Ayah hanya mampu bekerja selama 2 tahun semenjak kepergianmu ibu,setelah itu ayah jatuh sakit dan sebagian tubuhnya mengalami struk sehingga menyulitkan ayah untuk kembali bekerja,ingin aku berlari dari kenyataan kehidupan ini.

Kadang aku sampai berpikiran pendek,apakah aku menyusul ibu sajah?

Pikirkanku benar-benar kosong,seperti kataku kehilangan arah hidup,

Lebih berdosa lagi aku bahkan pernah membenci tuhan.

Melihat anak-anak seusiaku melanjutkan pendidikan,berseragam rapi,yang dipikirkan hanyalah belajar dan belajar,tidak seperti aku yang harus bekerja menghidupi keluargaku,

Di usiaku yang seharusnya fokus pada pendidikan,aku malah diberikan tanggungjawab berat sebagai tulang punggung keluarga,merawat,bekerja menghidupkan ayah dan kedua adikku.

Seiring berjalannya waktu,aku mulai berdamai dengan keadaan,melihat ayah semakin tak berdaya,melihat tio baru berumur 10 tahun,melihat Fitri adik bungsuku yang baru menginjak usia 3 tahun,bisa ku bayangkan jika keegoisan ini menjadikan orang-orang yang aku sayangi menderita sepanjang hidupnya.

Di suatu malam yang gelap,aku duduk termenung di pojok ruang tengah sembari mengehala nafas,tak lama kemudian air mata menetes basahi ke 2 pipiku,seakan-akan langit ingin menenggelamkan dunia di bawahnya,suara tangisan bercampur dengan gemuruh angin yang datang begitu cepat,menerobos setiap celah,menyusup ke dalam dinding kayu yang sudah lapuk,putri menahan deru kehidupan yang semakin keras.

Fitri dan Tio masih tertidur dalam pelukan mimpi,hingga deras cucuran hujan tak membuat keduanya tersadarkan,mereka tertidur begitu lelap,putri terus memantau setiap tetes air yang jatuh kedalam ruangan terasa seperti luka yang menambah derita panjang mereka.

Apa yang harus aku lakukan ucap putri?

Kemana aku harus melangkah?

Merasa kebingungan dan kehilangan arah,putri mengigit lengan bajunya agar tak terdengar suara tangisnya,tak lama kemudian akhirnya Tio sang adik terbangun dari tidur,

Menghampiri putri,Kakak "ucap Tio", kakak lihatlah rumah kita hampir dipenuhi oleh genangan air,mengapa hanya berdiam diri sajah?

Sembari menangis putri memeluk erat sang adik,putri menjelaskan dengan suara serak."kita harus tetap disini dulu.kita tidak bisa kemana-mana".

Kemudian putri membangunkan sang ayah yang berusia paruh Baya,kembali menegok di bilik kamar sebelah,sang adik Fitri berusia 3 tahun tertidur ditengah genangan air yang hampir mencapai rak tidurnya,bergegas putri mengendong Fitri.Putri menatap air yang semakin tinggi,diluar hujan masih turun,namun putri merasa ada sesuatu yang berubah,air yang membanjiri tanah bukanlah sebuah ancaman melainkan sebuah ujian.

Banjir tidak akan mengalahkan mereka,putri memeluk erat ayah dan kedua adiknya,bibirnya bergetar mengucap do'a pada tuhan,hentikanlah curahan hujan untuk ke3 manusia yang paling ku cinta,deras hujan,gemuruh petir,air yang hampir menelan pondok kumuh tempat mereka bertahan hidup,seketika reda menjadi tenang,langit gelap berubah terang,malam kelam dipenuhi bintang indah.

"Syukurlah hujan sudah Redah ucap putri",

"Ayah mari putri antarkan ke tempat tidur,Ayah harus beristirahat",

Putri memapah sang ayah ke tempat tidurnya,namun betapa pilu hati Sang ayah melihat gabus yang berbalutkan kain kumuh miliknya sudah tergenang oleh air hujan,

"Putri bawa ayah ke ruang tamu sajah nak"ucap sang ayah,putri menuruti permintaan sang ayah.

Sembari menahan goresan luka dihati.

"Syukurlah air hujan sudah Redah nak ucap sang ayah",

Putriku yang cantik,sudah lama sekali kamu tersiksa sebab aku dan ke 2 adikmu nak,"sembari memeluk anak gadisnya tersebut,"maafkan ayah membawamu kepada dunia yang kejam".

Tak kuasa menahan tangis sebab mendengar ucapan dari sang ayah,putri kemudian memeluk erat sang ayah dan mengucapkan kata maaf,

"Maafkan aku ayah,maafkan atas setiap raut wajahku yang terlihat cemberut,maafkan aku atas Setiap keluhanku padamu.

Ayah menatapku dengan bayangan kabur,rasa sakit menjalari tubuhnya mengingatkan bahwa waktu bersamanya sangat berarti,melihat tubuh ayah semakin kurus napasnya semakin sesak,ayah kini hanya bayangan dari sosok laki-laki kuat,tegap,yang dulu membawa kehidupan dalam setiap langkahnya.

Disaat sedang mengobrol dengan ayah,Tio menghampiriku sambil mengendong Fitri,

Tiba-tiba Tio memeluk ku dengan sangat kencang sembari berkata : trimakasih kakak selama ini sudah merawat Tio dan Fitri,kami bangga memiliki kakak yang sangat hebat seperti kakak,

Hatiku semakin tersentuh,selama ini Tio jarang sekali bersikap manis terhadap ku,hanya sesekali sajah dan seumur hidupku ini adalah ucapan terindah yang pernah aku dengarkan dari mulut adik laki-lakiku.

"Sama-sama sayang ucapkku",kakak akan selalu mencintai ayah,Tio dan juga Fitri,karna kalian adalah harta yang paling berharga didunia ini,hanya kalian yang kakak miliki saat ini.

"Putri apakah bisa ayah meminta tolong ucap sang ayah".

"Tentu ayah jawab putri"

"Nak ambilah botol disudut kamar ayah,yang ayah gantung dekat jendela dan tolong berikan pada bibimu sekarang juga",

Ayah akan menjaga Tio dan Fitri disini,kebetulan hujan juga sudah Redah.

"Baiklah ayah ucap putri",

"Aku segera mengambil botol tersebut dan langsung pergi kerumah bibi untuk memberikan botol tersebut kepada bibi".

Sesampainya dirumah bibi,bibi terkejut melihat ku dan menanyakan bagaimana bisa aku sampai disini,

Kemudian aku menceritakan semua kejadian kepada bibi dan menyampaikan amanah yang diberikan kepadaku dari ayah, tak lama dirumah bibi seketika ada warga beramai-ramai diluar sembari memanggil namaku.

Aku keluar dan menanyakan apa yang terjadi?

Salah satu warga mengatakan bahwasanya desa tempatku tinggal mengalami banjir besar dan pondok kumuh kami terbawa arus sungai,

Ketika mendengar hal tersebut,aku langsung menjerit mengingat dirumah ada ayah dan kedua adikku.

Oh tuhan apa lagi ini?

Kau renggut ibuku,kau renggut ayah,dan kedua adikku,apa mau mu Tuhan?

Bibi memeluk ku dengan kencang dan berusaha menenangkanku.

Kemudian bibi membuka botol yang diberikan oleh ayahku.

Ternyata isi di botol tersebut adalah uang sejumlah 10 juta rupiah dengan berisikan surat untukku,

Putri anakku trimakasih nak sudah menjadi anak yang berbakti,tidak meninggalkan ayah dan adik-adikmu di masa sulit,ayah tak pernah berobat nak,ayah tak pernah makan enak,ayah tak pernah membelikan Tio dan Fitri baju yang bagus ataupun makanan yang enak,uang itu adalah hasil jerihpayah ayah dan ibumu semasa hidup,uang itu untuk masa depanmu,melanjutkan pendidikan dan mencapai semua mimpimu,kelak saat ayah dan ibu tak ada,berjuanglah lebih keras lagi putriku,bahkan saat dunia menjauh darimu,percayalah dari dunia yang lain ayah dan ibu akan tetap mencintai dan mendukungmu,untukmu anakku tersayang putri.

Melihat surat kecil yang ditulis oleh sang ayah,putri semakin tak kuasa menahan tangis dan sekarang benar-benar akan kehilangan arah hidupnya,namun putri berusaha untuk kembali tegar dan percaya kepada Tuhan atas setiap kesulitan yang dilalui pasti akan mendapatkan hikmahnya.

Aku kini kehilangan insan-insan yang benar-benar aku cintai,aku lebih menyukai rasa lelahku karna ketiganya daripada harus kehilangan mereka,kini ku lanjutkan hidup seperti pesan ayah,menata masa depan yang lebih cerah dan mencintai setiap hal yang berdatangan dalam hidupku,meski itu luka dan derita semua akan menyimpan pelajaran berharga.

Biodata penulis 

Nama : khofifah Indar PDF 

TTL : Sumbawa,28 Desember 2000

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun