Pendahuluan: Hati yang Tersesat
Malam jatuh di Desa Sukamukti, membawa gelap yang tidak hanya menyelimuti langit tetapi juga hati seorang wanita muda bernama Laras. Rembulan malam itu seperti wajah seorang sahabat yang memancarkan kehangatan dari kejauhan, namun tak pernah bisa disentuh. Di sebuah rumah kecil di ujung desa, Laras duduk di samping meja kayu dengan lampu minyak yang bergoyang lembut. Surat di tangannya terasa lebih berat dari biasanya, seolah memikul semua kenangan yang berusaha ia lupakan.
Surat itu bukan sembarang surat; itu adalah satu-satunya peninggalan Damar, pria yang pernah ia cintai. Pria yang membawa Laras keluar dari kebosanan hidupnya, hanya untuk kemudian meninggalkan jejak luka yang tak pernah sepenuhnya sembuh.
Kenangan yang Menyayat
Laras tidak bisa melupakan bagaimana ia bertemu dengan Damar untuk pertama kalinya. Pasar malam yang dipenuhi lampion warna-warni menjadi tempat pertemuan mereka. Di tengah hiruk pikuk penjual dan pembeli, suara Damar memikat perhatian Laras. Ia sedang membacakan puisi tentang kebebasan di sudut pasar.
"Jika kebebasan adalah impian, maka biarkan aku menjadi pendosa yang terus bermimpi."
Kata-katanya sederhana, tetapi menyentuh hati Laras. Saat itu, ia hanyalah gadis desa yang tidak tahu apa-apa tentang dunia luar, tetapi Damar, dengan tatapannya yang penuh semangat, membuatnya melihat dunia dengan cara yang berbeda.
Awal Cinta yang Tumbuh
Pertemuan mereka berlanjut di bawah pohon ketapang tua di ujung desa. Damar selalu membawa buku-buku tua dan membacakannya untuk Laras. "Dunia ini besar, Laras," katanya suatu hari. "Tetapi seringkali hati manusia terlalu kecil untuk melihatnya."
Laras mendengarkan setiap kata Damar seperti seorang murid yang belajar dari gurunya. Cinta mulai tumbuh di antara mereka, bukan hanya dari kata-kata, tetapi juga dari keheningan yang mereka bagi.
Namun, cinta mereka bukan tanpa rintangan. Laras adalah putri seorang petani miskin, sementara Damar berasal dari keluarga yang sedikit lebih berada tetapi memberontak melawan warisan keluarganya.
Dunia yang Memisahkan
Ketika perang saudara mulai melanda negeri mereka, hidup berubah drastis. Damar, yang terlibat dalam gerakan melawan pemerintah yang represif, menjadi buronan. Ia harus melarikan diri ke pedalaman, meninggalkan Laras tanpa kepastian. Sebelum pergi, ia menulis sepucuk surat:
"Laras, cinta kita mungkin tak bisa bertahan di dunia ini, tetapi aku percaya, di suatu tempat yang lebih damai, kita akan bertemu kembali."
Laras mendengarkan setiap kata Damar seperti seorang murid yang belajar dari gurunya. Cinta mulai tumbuh di antara mereka, bukan hanya dari kata-kata, tetapi juga dari keheningan yang mereka bagi.
Namun, cinta mereka bukan tanpa rintangan. Laras adalah putri seorang petani miskin, sementara Damar berasal dari keluarga yang sedikit lebih berada tetapi memberontak melawan warisan keluarganya.
Tetangga-tetangga sering membicarakannya. "Kenapa Laras belum menikah?" tanya mereka. "Ia terlalu sibuk memikirkan seseorang yang tidak akan pernah kembali," jawab yang lain.
Namun Laras tetap setia pada kenangannya. Baginya, Damar bukan hanya cinta, tetapi juga pengingat akan dunia yang lebih besar, dunia yang penuh dengan harapan meskipun kacau.
Pertemuan Kembali yang Menggetarkan
Suatu malam, ketika Laras berjalan pulang dari pasar, ia melihat seseorang berdiri di bawah pohon ketapang tua. Tubuh pria itu kurus, tetapi matanya tetap memancarkan semangat yang sama seperti dulu. Itu adalah Damar.
"Damar?" Laras hampir tidak percaya dengan penglihatannya.
"Ya, ini aku," jawab Damar, suaranya serak. "Aku kembali, Laras. Tetapi hanya sebentar."
Mereka duduk bersama di bawah pohon ketapang, berbicara tentang kenangan dan mimpi yang dulu mereka miliki. Damar menceritakan perjuangannya melawan tirani, bagaimana ia hidup di pengasingan, dan bagaimana ia selalu memikirkan Laras.
Namun, pertemuan itu hanya sementara. Damar harus pergi lagi, karena bahaya terlalu besar jika ia tinggal.
Refleksi Laras: Cinta yang Tidak Pernah Padam
Setelah Damar pergi, Laras kembali ke rutinitasnya. Tetapi kali ini, ia merasa lebih kuat. Ia menyadari bahwa cinta bukanlah tentang memiliki, tetapi tentang memberi makna pada hidup.
Laras membuka surat terakhir dari Damar dan membacanya dengan hati yang lebih tenang:
"Cinta kita adalah api kecil di tengah badai. Meski redup, ia tidak pernah padam."
Surat itu menjadi lentera kecil di hati Laras, memberi cahaya dalam perjalanan hidupnya yang penuh liku.
Epilog
Malam itu, Laras memandang rembulan yang perlahan tenggelam di balik awan. Ia tahu, meskipun dunia ini penuh kekacauan, cinta akan selalu menemukan jalannya untuk tetap hidup, meski dalam bentuk yang berbeda.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI