OLEH: Khoeri Abdul Muid
Pernahkah Anda mendengar ungkapan, "Rezekilah yang mencari manusia, bukan manusia yang mencari rezeki"?
Kalimat ini mungkin terdengar seperti paradoks di tengah hiruk-pikuk dunia modern yang mengajarkan bahwa kita harus bekerja keras, mengejar peluang, dan bersaing untuk memperoleh kehidupan yang layak. Namun, dalam Islam, ungkapan ini mencerminkan sebuah prinsip mendalam yang mengajarkan keseimbangan antara usaha, tawakal, dan keyakinan kepada Allah SWT.
Bagaimana Islam memandang konsep rezeki? Adakah dasar agama yang mendukung pernyataan ini? Mari kita selami lebih dalam.
Rezeki yang Sudah Dijamin oleh Allah SWT
Dalam Al-Qur'an, Allah menegaskan bahwa rezeki setiap makhluk sudah menjadi tanggung jawab-Nya:
"Dan tidak ada suatu makhluk melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiamnya dan tempat penyimpanannya. Semua tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)."
(QS. Hud [11]: 6)
Ayat ini mengajarkan bahwa tidak ada makhluk di muka bumi, sekecil apa pun, yang luput dari jaminan rezeki Allah. Bahkan seekor semut di celah-celah batu memiliki bagian rezekinya sendiri. Maka, manusia, sebagai makhluk yang paling mulia, tentu tidak perlu khawatir berlebihan terhadap rezekinya.
Rezeki Sudah Ditentukan Sebelum Kita Lahir
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasulullah bersabda bahwa salah satu dari empat hal yang telah ditentukan bagi manusia sejak dalam kandungan adalah rezekinya:
"Kemudian diutus seorang malaikat, lalu meniupkan ruh kepadanya dan diperintahkan untuk mencatat empat hal: rezekinya, ajalnya, amalnya, dan bahagia atau celakanya."
Hadis ini menunjukkan bahwa rezeki adalah bagian dari ketentuan Allah yang telah dituliskan untuk setiap individu, bahkan sebelum ia lahir ke dunia. Lalu, apakah ini berarti manusia tidak perlu berusaha? Tentu tidak!
Usaha dan Tawakal: Burung Sebagai Teladan
Rasulullah memberikan gambaran indah tentang hubungan antara usaha dan tawakal:
"Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, niscaya kalian akan diberi rezeki sebagaimana burung diberi rezeki: ia pergi pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore hari dalam keadaan kenyang."
(HR. Tirmidzi)
Burung tidak duduk diam di sarangnya menunggu makanan datang. Ia terbang, mencari, dan berusaha. Namun, ia tidak pernah merasa cemas karena yakin bahwa makanannya telah dijamin oleh Allah. Ini adalah contoh sempurna bagaimana manusia seharusnya menjalani hidup: berusaha dengan sungguh-sungguh, tetapi tidak membiarkan hati diliputi oleh kegelisahan.
Rezeki Datang dari Jalan yang Tak Disangka
Salah satu keajaiban rezeki adalah ia sering kali datang dari arah yang tidak kita duga. Allah berfirman:
"Dan barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberinya jalan keluar. Dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka."
(QS. At-Talaq [65]: 2-3)
Ketika seseorang menjaga hubungan baiknya dengan Allah melalui ketakwaan, ia akan mendapati pintu-pintu rezeki terbuka dengan cara-cara yang tak terbayangkan sebelumnya. Inilah salah satu bukti bahwa rezeki "mencari" manusia yang mendekatkan dirinya kepada Allah.
Makna Rezeki yang Lebih Luas
Dalam Islam, rezeki tidak hanya terbatas pada harta atau materi. Kesehatan, ilmu, keluarga yang harmonis, teman yang baik, hingga ketenangan hati adalah bentuk-bentuk rezeki yang sering kali luput dari perhatian kita. Maka, ketika seseorang berusaha menjalani hidup dengan niat baik, ikhtiar yang halal, dan tawakal yang tulus, ia akan merasakan limpahan rezeki dalam berbagai bentuk, baik yang tampak maupun yang tersembunyi.
Perspektif Filosofis: Eksistensialisme dan Keadilan Ilahi
Secara filosofis, konsep ini dapat dijelaskan melalui sudut pandang eksistensialisme religius, yang menekankan bahwa manusia memiliki kebebasan untuk berusaha, tetapi hasilnya berada di luar kendali manusia dan menjadi hak prerogatif Tuhan. Pemikiran ini selaras dengan pandangan Sren Kierkegaard, seorang filsuf eksistensialis, yang mengatakan bahwa manusia harus menyerahkan diri kepada "Kehendak Agung" setelah melakukan upaya maksimal.
Dalam Islam, pandangan ini juga diperkuat oleh konsep tawhid rububiyah, yaitu keyakinan bahwa Allah adalah pengatur segala sesuatu, termasuk rezeki. Hal ini mengarahkan manusia untuk mengakui bahwa meskipun usaha adalah kewajiban, hasil akhir adalah bentuk keadilan ilahi yang tidak selalu dapat dipahami secara langsung oleh manusia.
Pesan Moral: Jangan Tamak, Fokuslah pada Hal yang Benar
Pernyataan "Rezekilah yang mencari manusia" juga mengandung pesan moral agar manusia tidak menjadi serakah. Islam melarang kita mengejar rezeki dengan cara yang tidak halal atau melanggar nilai-nilai moral. Sebaliknya, fokuslah pada menjalankan perintah Allah, menjauhi larangan-Nya, dan memperbaiki hubungan dengan sesama. Ketika itu dilakukan, rezeki akan datang dengan sendirinya, bahkan tanpa harus dikejar secara berlebihan.
Kesimpulan
Ungkapan "Rezekilah yang mencari manusia, bukan manusia yang mencari rezeki" mengingatkan kita untuk hidup dengan keseimbangan: berusaha dengan ikhtiar terbaik, tetapi menyerahkan hasilnya kepada Allah. Dalil-dalil Al-Qur'an dan hadis mendukung prinsip ini, mengajarkan bahwa rezeki adalah jaminan Allah yang akan datang kepada mereka yang bertakwa, tawakal, dan tidak melanggar nilai-nilai Islam.
Jadi, berhentilah merasa khawatir berlebihan tentang rezeki. Fokuslah pada memperbaiki diri, menjaga hubungan dengan Allah, dan berbuat baik kepada sesama. Karena, ketika Anda menjalani hidup dengan cara yang benar, rezeki akan "mencari" Anda, sering kali dari arah yang tidak pernah Anda duga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H