OLEH: Khoeri Abdul Muid
Langit malam di kota itu menggantung rendah, seperti selimut berat yang menekan jiwa. Lian, seorang gadis muda dengan rambut sebahu yang acak-acakan, duduk di sudut warung kopi kecil. Di depannya, secangkir kopi hitam yang sudah dingin hanya menjadi saksi bisu kegundahannya.
"Kamu tahu nggak, Lian?" tanya Arif, sahabatnya, dengan nada gusar. "Berapa banyak orang yang nggak tahu bahwa hidup kita ini seperti menghitung kerikil di jalanan? Selalu kurang dihitung, selalu dianggap remeh."
Lian menghela napas panjang. "Aku tahu, Rif. Kita ini seperti bayangan. Ada tapi nggak dilihat."
Arif mengetuk meja dengan jemarinya yang kurus. "Tapi bayangan juga bisa menjerit. Dan kali ini, kita harus bikin mereka dengar!"
Lian menatap mata Arif yang berkobar. Di balik tubuh kurus itu, ada kekuatan yang membuat Lian selalu merasa malu atas keraguannya sendiri. Namun, kenyataan yang mereka hadapi terlalu kejam untuk diabaikan. Mereka adalah anak-anak dari sebuah komunitas kecil di pinggiran kota, yang sering dianggap tidak penting. Korban dari kebijakan yang selalu melewati mereka, seperti angin yang hanya menyentuh tanpa pernah benar-benar ada.
"Jadi, apa rencanamu?" tanya Lian akhirnya.
Arif tersenyum tipis. "Besok, kita ke Balai Kota. Kita serahkan petisi ini. Kita akan bicara langsung dengan mereka."
Lian terdiam. Petisi itu adalah hasil kerja keras mereka selama berminggu-minggu. Mengumpulkan tanda tangan dari orang-orang yang sering diabaikan: pedagang kecil, buruh kasar, ibu rumah tangga yang hanya bisa berbicara dalam bahasa daerah. Mereka semua punya cerita yang sama --- hak yang dilupakan, kewajiban yang tetap harus mereka penuhi.
**