Aku terpaku. Tapi sebelum aku sempat membalas, suara bel pintu memecah keheningan.
Aku membuka pintu, dan Rena, si penjual keladi, berdiri di sana dengan pot besar berisi tanaman yang begitu indah. "Bu, saya bawain keladi hibrida baru. Ini lagi booming banget, orang-orang berebut beli."
Aku menatap pot itu. Cantik, sempurna, dan... tak lagi aku butuhkan.
"Terima kasih, Mbak Rena," aku berkata pelan. "Tapi saya nggak beli keladi lagi."
Rena menatapku bingung. "Bu? Ini jenis yang mahal sekali, langka, bisa jadi investasi."
Aku tersenyum kecil. "Mungkin, tapi kebahagiaan saya tidak bisa dibeli lagi. Saya sudah punya cukup."
Aku menutup pintu, merasa lebih ringan dari sebelumnya.
"Mom beneran nggak beli?" Ray bertanya, suaranya setengah menggoda.
Aku tertawa kecil. "Mom nggak tahu. Tapi kalau pun beli, nanti, kalau benar-benar butuh, bukan karena lari dari sesuatu."
Dia mengangguk, memelukku dari samping.
Aku menatap rak keladi yang penuh di ruang tamu. Kali ini, aku tidak melihat daun-daun indahnya. Yang kulihat hanyalah cermin dari diriku---dan perjalanan panjang untuk menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya.