OLEH: Khoeri Abdul Muid
Aku berdiri di ruang tamu, memandangi rak penuh keladi yang tersusun rapi. Daun-daunnya berwarna-warni seperti pelangi. Tapi hari ini, semua itu terasa hampa.
"Mom, keladi lagi?" suara Ray, anakku, mengagetkan.
Aku menoleh dan mendapati dia berdiri dengan tangan bersilang. Tatapannya tajam, seperti tak lagi sabar melihat hobi mahalku ini.
"Jangan marah ya, Ray," kataku pelan, mencoba tersenyum. "Mom suka keladi. Ini bikin Mom bahagia."
Dia mendekat, matanya menembus hingga ke hatiku. "Mom tahu nggak, aku udah lama nggak nanya apa-apa soal keladi-keladi ini? Karena aku pikir, duitnya Mom sendiri kan, asal Mom bahagia."
Kata-katanya menusuk. Aku tahu dia tak bermaksud menyakiti, tapi tetap saja aku merasa seperti diterjang ombak besar.
Kilas balik menghantamku seperti badai. 2020, pandemi awal.
Semua terasa kacau. Pekerjaan suamiku, Evan, mandek. Penghasilan kami nyaris habis untuk kebutuhan dasar. Tapi aku? Aku terus membeli keladi, seakan daun-daunnya bisa menjadi obat pelipur lara.
"Beli lagi?" suara Evan malam itu datar, bahkan terlalu datar.
"Keladi ini langka banget," aku mencoba tersenyum, menunjukkan pot kecil di tanganku. "Kalau kita pelihara, bisa jadi investasi, kok."
Evan tak menjawab. Dia hanya berjalan masuk ke kamar, menutup pintu tanpa berkata sepatah kata pun.
"Keladi lagi, keladi lagi," aku mendengar gumaman Ray suatu malam. Aku berpura-pura tidak mendengar, tetapi hatiku tersayat.
Namun setiap kali aku menatap keladi-keladi itu, aku meyakinkan diri, ini untuk kebahagiaan.
Aku memandang rak-rak keladi di ruang tamu yang penuh warna, tapi hampa. "Ray," panggilku pelan.
Dia menatapku, menunggu penjelasan.
"Menurut kamu, Mom egois nggak?" tanyaku.
Dia mengerutkan dahi. "Kenapa tiba-tiba nanya kayak gitu?"
Aku menelan ludah, mengumpulkan keberanian. "Dulu, waktu pandemi, Mom beli keladi terus. Padahal, kita lagi susah. Harusnya Mom lebih mikir keluarga."
Ray tertawa kecil. Tawanya ringan, tapi terasa seperti tamparan.
"Mom," katanya, "dulu aku cuma anak kecil. Aku nggak ngerti soal duit. Tapi aku ngerti satu hal: keladi bikin Mom bahagia. Dan kalau Mom bahagia, aku juga bahagia."
Aku terpaku. Tapi sebelum aku sempat membalas, suara bel pintu memecah keheningan.
Aku membuka pintu, dan Rena, si penjual keladi, berdiri di sana dengan pot besar berisi tanaman yang begitu indah. "Bu, saya bawain keladi hibrida baru. Ini lagi booming banget, orang-orang berebut beli."
Aku menatap pot itu. Cantik, sempurna, dan... tak lagi aku butuhkan.
"Terima kasih, Mbak Rena," aku berkata pelan. "Tapi saya nggak beli keladi lagi."
Rena menatapku bingung. "Bu? Ini jenis yang mahal sekali, langka, bisa jadi investasi."
Aku tersenyum kecil. "Mungkin, tapi kebahagiaan saya tidak bisa dibeli lagi. Saya sudah punya cukup."
Aku menutup pintu, merasa lebih ringan dari sebelumnya.
"Mom beneran nggak beli?" Ray bertanya, suaranya setengah menggoda.
Aku tertawa kecil. "Mom nggak tahu. Tapi kalau pun beli, nanti, kalau benar-benar butuh, bukan karena lari dari sesuatu."
Dia mengangguk, memelukku dari samping.
Aku menatap rak keladi yang penuh di ruang tamu. Kali ini, aku tidak melihat daun-daun indahnya. Yang kulihat hanyalah cermin dari diriku---dan perjalanan panjang untuk menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H