Surya mengangguk, lalu berlari bersama tim kecilnya, melompat di antara semak-semak dan batu besar. Dentuman meriam membuat tanah di sekitarnya terbelah.
Di sisi lain, Ngurah Rai memimpin serangan langsung ke pusat pasukan Belanda. Dengan tombak dan keris, mereka menerjang seperti arus air bah, membuat para serdadu Belanda kelabakan.
Namun, keunggulan senjata Belanda segera terlihat. Satu per satu pasukan Ngurah Rai mulai tumbang.
Saat senja tiba, hanya sedikit dari pasukan Ngurah Rai yang tersisa. Di tengah hujan peluru, Surya tertembak di bahunya. Darahnya mengalir deras, namun ia tetap berjuang, memimpin serangan balik terakhir dengan bom rakitan.
Ngurah Rai melihat Surya yang terluka parah, tapi tetap maju ke arah tank musuh.
"Surya! Mundur! Jangan bodoh!" teriak Ngurah Rai.
Namun, Surya menoleh dan tersenyum kecil. "Tuan, ini jalan yang saya pilih."
Ia berlari mendekati tank, meledakkan dirinya bersama kendaraan baja itu. Ledakan besar membuat pasukan Belanda terkejut.
Di tengah kehancuran, Ngurah Rai berdiri sendirian. Senjatanya patah, tubuhnya berlumur darah. Ia melihat sekeliling---pasukannya telah gugur, tapi wajah mereka tetap penuh damai.
Dari arah belakang, seorang perwira Belanda mendekat dengan senapan terarah.
"Menyerahlah, Tuan Ngurah Rai. Perlawanan Anda telah sia-sia," kata perwira itu.