OLEH: Khoeri Abdul Muid
Langit Bali memerah seperti luka yang tak kunjung sembuh. Di depan pasukan kecilnya, I Gusti Ngurah Rai berdiri tegak, tubuhnya disinari cahaya lilin yang bergetar oleh angin gunung. Malam itu, mereka berkumpul di bawah pohon besar, bersiap untuk pertempuran terakhir. Mata Ngurah Rai memandang setiap wajah prajuritnya---muda, tua, penuh luka, namun tetap berkilau oleh tekad.
"Saudara-saudaraku," katanya, suaranya berat tapi tegas. "Kita tidak berjuang untuk hidup, melainkan untuk martabat. Jika harus mati, maka biarkan kematian kita menjadi warisan bagi anak cucu kita."
Seorang pemuda, Surya, memandang Ngurah Rai dengan mata yang penuh tanya. "Tuan, apakah kita benar-benar bisa menang melawan mereka? Mereka punya senjata, tank, bahkan pesawat..."
Ngurah Rai mendekati Surya, menepuk bahunya. "Kemenangan bukan soal siapa yang punya peluru lebih banyak. Tapi siapa yang berani mengorbankan segalanya."
Surya terdiam, tenggorokannya tercekat. Ia ingat ibunya yang memohon agar ia tidak pergi berperang, tapi hatinya sudah memilih.
Malam itu mereka bersumpah, satu demi satu, di bawah pohon sakral. Suara mereka menggetarkan udara malam, seolah-olah para leluhur turut mendengar.
Keesokan harinya, langit pagi diterjang dentuman meriam. Pasukan Belanda datang dengan jumlah yang jauh lebih besar. Ratusan serdadu berseragam biru keabu-abuan maju dengan langkah pasti, sementara tank-tank mengguncang tanah.
Ngurah Rai dan pasukannya bersiap di lembah sempit, posisi yang mereka pilih untuk memecah kekuatan musuh.
"Surya, bawa pasukanmu ke sisi kiri. Ganggu tank mereka. Kita harus buat mereka bingung!" perintah Ngurah Rai.
Surya mengangguk, lalu berlari bersama tim kecilnya, melompat di antara semak-semak dan batu besar. Dentuman meriam membuat tanah di sekitarnya terbelah.
Di sisi lain, Ngurah Rai memimpin serangan langsung ke pusat pasukan Belanda. Dengan tombak dan keris, mereka menerjang seperti arus air bah, membuat para serdadu Belanda kelabakan.
Namun, keunggulan senjata Belanda segera terlihat. Satu per satu pasukan Ngurah Rai mulai tumbang.
Saat senja tiba, hanya sedikit dari pasukan Ngurah Rai yang tersisa. Di tengah hujan peluru, Surya tertembak di bahunya. Darahnya mengalir deras, namun ia tetap berjuang, memimpin serangan balik terakhir dengan bom rakitan.
Ngurah Rai melihat Surya yang terluka parah, tapi tetap maju ke arah tank musuh.
"Surya! Mundur! Jangan bodoh!" teriak Ngurah Rai.
Namun, Surya menoleh dan tersenyum kecil. "Tuan, ini jalan yang saya pilih."
Ia berlari mendekati tank, meledakkan dirinya bersama kendaraan baja itu. Ledakan besar membuat pasukan Belanda terkejut.
Di tengah kehancuran, Ngurah Rai berdiri sendirian. Senjatanya patah, tubuhnya berlumur darah. Ia melihat sekeliling---pasukannya telah gugur, tapi wajah mereka tetap penuh damai.
Dari arah belakang, seorang perwira Belanda mendekat dengan senapan terarah.
"Menyerahlah, Tuan Ngurah Rai. Perlawanan Anda telah sia-sia," kata perwira itu.
Ngurah Rai menatapnya dengan pandangan tajam. "Kalian bisa merebut tanah ini, tapi kalian tidak akan pernah memiliki jiwa kami."
Sebuah tembakan memecah udara.
Berita gugurnya Ngurah Rai menyebar seperti api ke seluruh Bali. Rakyat tidak menangis, tetapi mereka bangkit. Jiwa Ngurah Rai menjadi bara yang terus menyala, menyalakan semangat perlawanan yang tidak akan pernah padam.
Di tengah puing-puing perang, seorang anak kecil menemukan pecahan keris Ngurah Rai. Ia menggenggamnya erat, menatap ke arah langit yang mulai terang.
"Bapak bilang, pahlawan tidak pernah benar-benar mati," katanya pelan.
Langit Bali pagi itu biru seperti harapan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H