OLEH: Khoeri Abdul Muid
Pagi di Colo, Kudus, udara terasa segar, tetapi di dalam rumah Nayla, suasana hati berkecamuk. Dapur kecil itu dipenuhi aroma eksotis: jus kelor mentah berpadu pisang dan jeruk nipis, nasi goreng hijau kelor, hingga camilan bakwan jagung kriuk. Alia, sahabat setianya, sibuk menata makanan.
"Nay, coba jus kelornya! Katanya bisa bikin otak encer. Siapa tahu esai kamu langsung rampung!" seru Alia sambil menyerahkan gelas hijau pekat itu.
Nayla hanya mendesah. "Aku nggak butuh otak encer, Al. Aku butuh dosen pembimbing yang nggak nge-push aku kayak robot."
Alia tertawa kecil, tapi tatapannya menyimpan sesuatu. "Mungkin dosen kamu juga butuh jus kelor, biar nggak bikin hidupmu jungkir balik," ujarnya mencoba mencairkan suasana.
Nayla mengaduk jus di tangannya, mendesah lagi. "Kayaknya aku mau berhenti aja deh. Udah terlalu berat."
Alia meletakkan jusnya. "Jangan bicara kayak gitu. Kamu jauh lebih kuat dari yang kamu kira, Nay."
Mereka makan dalam diam. Tapi di antara piring nasi goreng hijau kelor dan teh manis, Nayla merasa ada yang tidak beres. Alia lebih banyak menghindari tatapan matanya.
Ketika Nayla membuka laptopnya untuk melanjutkan esai, ia mendapati tab e-mail Alia yang belum tertutup. Awalnya ia hanya ingin menutupnya, tetapi sebuah pesan membuat matanya terpaku.
From: Prof. Rizky Alfarizi
To: Alia Pradipta
"Alia, keberangkatanmu ke Singapura minggu depan adalah langkah penting. Jangan khawatir soal Nayla. Aku akan tetap memastikan esainya selesai tepat waktu, dengan atau tanpa usahanya."
Tangan Nayla bergetar. Dosen pembimbingnya, orang yang paling ia benci, ternyata berhubungan dengan Alia? Dan kini mereka berdua merencanakan sesuatu di belakangnya?
Saat Alia masuk ke kamar, Nayla langsung menghadapkan layar laptop ke wajahnya. "Kamu mau jelasin ini, Al?"
Wajah Alia memucat. "Nay, aku bisa jelasin. Ini nggak seperti yang kamu pikirkan."
"Jangan bohong! Kamu kerja sama sama dosen itu buat apaan? Kamu tahu dia bikin aku hampir nyerah!" suara Nayla naik, air matanya mengalir.
Alia mencoba meraih tangan Nayla. "Aku cuma... aku cuma mau bantu kamu, Nay. Dia... dia bilang kalau aku bisa bantu negosiasi soal esaimu."
"Negosiasi? Dengan cara apa? Tidur sama dia?"
Tamparan keras dari Alia mengejutkan Nayla. Mereka berdua terdiam dalam sunyi.
Alia akhirnya berbicara, suaranya lirih. "Aku nggak ada pilihan lain. Tawaran kerja di Singapura ini adalah jalan keluar dari hidupku yang selama ini terjebak. Dan aku nggak mau kamu gagal cuma karena kebencianmu ke dia."
"Jadi kamu menjual dirimu dan persahabatan kita buat itu semua?" Nayla berkata tajam.
Hari keberangkatan Alia tiba. Nayla memutuskan mengantar sahabatnya ke bandara meski hatinya masih terluka. Mereka berpelukan singkat di pintu keberangkatan.
"Nay, aku tahu aku salah. Tapi aku cuma mau kamu tahu, aku nggak pernah berhenti peduli sama kamu," kata Alia, suaranya penuh penyesalan.
Nayla tersenyum pahit. "Aku harap Singapura jadi tempat yang baik untukmu."
Setelah Alia berlalu, Nayla duduk di kafe bandara, membuka laptopnya. Ia mengetik sebuah pesan singkat ke e-mail universitas.
Subject: Pelanggaran Etika Akademik
Isi: Saya ingin melaporkan hubungan tidak profesional antara Prof. Rizky Alfarizi dan Alia Pradipta, yang berpotensi merugikan mahasiswa lain.
Seminggu kemudian, Nayla menerima notifikasi e-mail. "Laporan Anda sedang dalam proses investigasi. Terima kasih atas informasi penting ini."
Namun, berita mengejutkan muncul di timeline media sosial Nayla malam itu:
"Karyawan Baru di Singapura Ditolak Visa Kerja karena Skandal Etika di Universitas."
Nayla membaca nama di artikel itu: Alia Pradipta.
Ia terdiam, menatap jus kelor di mejanya yang belum diminum. Bibirnya tersenyum tipis, tetapi matanya penuh kesedihan. Persahabatan mereka kini hanya kenangan, seperti aroma kelor yang perlahan memudar di udara Colo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H