"Alia, keberangkatanmu ke Singapura minggu depan adalah langkah penting. Jangan khawatir soal Nayla. Aku akan tetap memastikan esainya selesai tepat waktu, dengan atau tanpa usahanya."
Tangan Nayla bergetar. Dosen pembimbingnya, orang yang paling ia benci, ternyata berhubungan dengan Alia? Dan kini mereka berdua merencanakan sesuatu di belakangnya?
Saat Alia masuk ke kamar, Nayla langsung menghadapkan layar laptop ke wajahnya. "Kamu mau jelasin ini, Al?"
Wajah Alia memucat. "Nay, aku bisa jelasin. Ini nggak seperti yang kamu pikirkan."
"Jangan bohong! Kamu kerja sama sama dosen itu buat apaan? Kamu tahu dia bikin aku hampir nyerah!" suara Nayla naik, air matanya mengalir.
Alia mencoba meraih tangan Nayla. "Aku cuma... aku cuma mau bantu kamu, Nay. Dia... dia bilang kalau aku bisa bantu negosiasi soal esaimu."
"Negosiasi? Dengan cara apa? Tidur sama dia?"
Tamparan keras dari Alia mengejutkan Nayla. Mereka berdua terdiam dalam sunyi.
Alia akhirnya berbicara, suaranya lirih. "Aku nggak ada pilihan lain. Tawaran kerja di Singapura ini adalah jalan keluar dari hidupku yang selama ini terjebak. Dan aku nggak mau kamu gagal cuma karena kebencianmu ke dia."
"Jadi kamu menjual dirimu dan persahabatan kita buat itu semua?" Nayla berkata tajam.
Hari keberangkatan Alia tiba. Nayla memutuskan mengantar sahabatnya ke bandara meski hatinya masih terluka. Mereka berpelukan singkat di pintu keberangkatan.