"Nay, aku tahu aku salah. Tapi aku cuma mau kamu tahu, aku nggak pernah berhenti peduli sama kamu," kata Alia, suaranya penuh penyesalan.
Nayla tersenyum pahit. "Aku harap Singapura jadi tempat yang baik untukmu."
Setelah Alia berlalu, Nayla duduk di kafe bandara, membuka laptopnya. Ia mengetik sebuah pesan singkat ke e-mail universitas.
Subject: Pelanggaran Etika Akademik
Isi: Saya ingin melaporkan hubungan tidak profesional antara Prof. Rizky Alfarizi dan Alia Pradipta, yang berpotensi merugikan mahasiswa lain.
Seminggu kemudian, Nayla menerima notifikasi e-mail. "Laporan Anda sedang dalam proses investigasi. Terima kasih atas informasi penting ini."
Namun, berita mengejutkan muncul di timeline media sosial Nayla malam itu:
"Karyawan Baru di Singapura Ditolak Visa Kerja karena Skandal Etika di Universitas."
Nayla membaca nama di artikel itu: Alia Pradipta.
Ia terdiam, menatap jus kelor di mejanya yang belum diminum. Bibirnya tersenyum tipis, tetapi matanya penuh kesedihan. Persahabatan mereka kini hanya kenangan, seperti aroma kelor yang perlahan memudar di udara Colo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H