Kata-kata itu menancap di hati Ahmad. Malam itu, ia tak bisa tidur. Ia tahu Ustaz Karim benar. Tapi, bagaimana caranya benar-benar ikhlas?
Di sekolah, guru mereka mengumumkan rencana besar: mereka akan membuka perpustakaan desa. Setiap siswa diminta menyumbangkan buku terbaik mereka. Ahmad melihat rak kecil di kamarnya, penuh dengan buku-buku kesayangannya. Setelah lama berpikir, ia memutuskan untuk menyumbangkan semuanya.
"Semoga bermanfaat," bisiknya sambil menyerahkan buku-buku itu.
Namun, beberapa hari kemudian, sebuah pengumuman membuat darahnya mendidih. "Terima kasih kepada Farid yang telah menyumbangkan banyak buku berkualitas untuk perpustakaan kita!" seru kepala sekolah. Ahmad terkejut. Farid berdiri di depan, menerima tepuk tangan dari semua orang.
"Buku-buku itu milikku!" Ahmad ingin berteriak, tapi ia teringat nasihat Ustaz Karim: "Ikhlas adalah ujian hati."
Ahmad menahan sakit hatinya. Ia memilih diam.
Seminggu kemudian, sebuah insiden kecil membalikkan keadaan. Saat kepala sekolah sedang menyusun buku di perpustakaan baru, ia menemukan catatan kecil di salah satu buku: "Semoga ilmu ini bermanfaat. -- Ahmad."
Keesokan harinya, Ahmad dipanggil ke ruang kepala sekolah. "Ahmad, kenapa kamu tidak bilang buku-buku itu milikmu?"
Ahmad tersenyum kecil. "Karena saya ikhlas, Bu. Saya tak butuh orang tahu."
Kepala sekolah tertegun. Saat upacara bendera, nama Ahmad diumumkan sebagai siswa teladan, bukan karena sumbangannya, tetapi karena ketulusannya. Seluruh siswa bertepuk tangan meriah, termasuk Farid, yang terlihat menunduk malu.
Setelah upacara, Farid mendekati Ahmad. Dengan suara pelan, ia berkata, "Maafkan aku, Ahmad. Aku tahu aku salah." Ahmad tersenyum dan berkata, "Tak apa, aku sudah memaafkanmu."